Selasa 20 Sep 2016 15:16 WIB

Industri Besi dan Baja Indonesia Makin Sulit Berkompetisi

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Nidia Zuraya
Pabrik Peleburan Baja
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pabrik Peleburan Baja

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelemahan ekonomi global sangat berdampak pada komoditas ekspor Indonesia yang sulit tumbuh. Meski ekspor ini masih ada, tapi nilainya semakin turun. Salah satu industri yang mengalami pelemahan ekspor ini adalah sektor besi dan baja.

Ketua Asosiasi Besi dan Baja Indonesia Sukarna mengatakan, kebutuhan produk besi dan baja setiap tahunnya teru bertambah seiringan dengan pembangunan infrastruktur yang banyak menggunakan produk ini. Namun, produk besi dan baja‎ yang diproduksi oleh industri dalam negeri masih belum mampu menopang kebutuhan tersebut.

Pada tahun 2000 kebutuhan besi dan baja di Indonesia mencapai 4,9 juta ton. Sedangkan industri hanya mampu memproduksi besi dan baja mencapai 2,8 juta ton.

Kemudian pada 2015, kebutuhan dalam negeri berada di angka 11,4 juta ton, tapi industri hanya bisa memproduksi besi dan baja sebesar 4,9 ton ton. Artinya saat ini pemerintah harus melakukan impor besi dan baja mencapai 6,5 juta ton, nilai ini meningkat tinggi dari 2005-2015.

"Gap antara kebutuhan domestik semakin melebar. Peningkatan kebutuhan selama ini tidak dibarengi dengan peningkatan produksi industri dalam negeri," kata Sukarna dalam dikusi 'Bidang Perindustrian dan Perdagangan Kadin Indonesia, Selasa (20/9).

Sukarna yang juga menjabat Presdir Krakatau Steel ini menjelaskan, industri baja sebagai salah satu industri besar di Indonesia nyatanya masih belum mampu menunjang pertumbuhan infrastruktur dalam negeri.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2007 neraca perdagangan besi dan baja telah mengalami defisit tiga miliar dolar AS. Defisit ini mengalami puncaknya pada 2012 ketika neracar perdagangan ini mengalami defisit 9,3 miliar dolar AS. Namun angka ini mulai kembali menurun dan pada 2014 defisit berada di angka 7, 2 miliar dolar AS.

‎Menurut Sukarna, kesulitan dalam mengalahkan produk besi dan baja impor karena harga produk yang didatangkan ke dalam negeri semakin murah. Sementara produk dalam negeri yang memiliki ongkos produksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara pesaing.

Murahnya harga ini semakin menekan industri dalam negeri setelah asosiasi negara di Asia Tenggara (Asean) melakukan perjanjian perdagangan atau Free Trade Zone (FTA) dengan sejumlah negara ‎seperti Cina (ACFTA), Korea (AKFTA), Jepang (IJ-EPA), dan India (AIFTA).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement