REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Tata kelola pertanian di Tanah Air dinilai belum berpihak kepada masyarakat khususnya petani itu sendiri. Ini terlihat, dari masih banyaknya warga di daerah lumbung padi yang mengonsumsi beras miskin (raskin) bahkan kesulitan untuk memperoleh makanan pokok tersebut.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi Jawa Barat, Dedi Mulyadi, Ia perihatin karena masih banyaknya warga Kabupaten Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon yang mengonsumsi beras miskin. Padahal, daerah tersebut merupakan lumbung padi nasional.
"Kebutuhan beras nasional disumbang daerah itu. Kenapa masyarakatnya mengonsumsi beras raskin?" ujar Dedi kepada wartawan, Selasa (20/9).
Dedi menilai, kebanyakan warga di daerah tersebut berprofesi sebagai petani penggarap, bukan pemilik. Kondisi ini diperburuk oleh pendistribusian beras yang tidak berpihak kepada mereka. Petani menjual seluruh beras yang dihasilkannya untuk memasok kebutuhan nasional.
Seharusnya, kata dia, petani tidak menjual seluruhnya, melainkan menyimpan sebagian untuk cadangan konsumsi mereka. Tak hanya itu, menurutnya upah bagi petani penggarap tidak mesti seluruhnya berupa uang. "Harusnya sebagian dibayar beras. Jadi mereka (petani) tidak kesulitan memperoleh beras," katanya.
Sehingga, kata dia, dengan tata kelola seperti ini, petani yang bisa disebut sebagai produsen beras harus menanggung biaya pengiriman beras yang dikonsumsinya. Karena, beras yang mereka hasilkan harus dibeli lagi. Mereka, menjual gabah. Setelah jadi beras, lalu dibawa ke Bulog. Dari Bulog, dibawa lagi ke daerah petani untuk dibeli. "Yang bikin miris, mereka pun harus menanggung ongkos pengiriman dengan harga jual yang ada," katanya.
Deddy menilai, perlu adanya peraturan yang memperbaiki tata kelola tani. "Harus mulai dibuat peraturan desa yang mengatur tata kelola beras," katanya.