REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku industri hulu minyak dan gas bumi (migas) yang tergabung dalam Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) mengusulkan sejumlah skema kontrak baru untuk menyiasati tantangan harga minyak dunia yang masih bertahan di angka rendah. Board of Director IPA Sammy Hamzah menjelaskan, usulan ini sudah ia sampaikan kepada pemerintah dan ada tanggapan baik dari pemerintah. Hanya saja, skema kontrak baru dan sejumlah insentif bagi industri hulu migas belum sepenuhnya berjalan.
Sammy menjelaskan, bentuk skema baru sebetulnya sudah tertuang dalam Peraturan Menteri nomor 38 tahun 2015 tentang Percepatan Pengusahaan Migas Non Konvensional. Hanya saja, Sammy menilai bahwa implementasi dari peraturan tersebut masih belum berjalan. Dalam beleid tersebut disebutkan, terdapat 3 jenis kontrak yang ditawarkan yakni net sliding scale, di mana split atau bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor berubah mengikuti besaran produksi di lapangan yang ada.
"Contohnya kalo di tahun pertama harga minyak itu rendah maka kami minta split untuk kontraktor lebih besar, dan porsi pemerintah lebih kecil. Kita harapkan dengan harga minyak turun nilai keekonomiannya ini berkurang. Dengan split yang sliding maka dapat memberi insentif untuk memberi gairah mengembangkan migas lapangan," ujar Sammy, Ahad (17/4).
Sementara skema kedua, adalah gross split sliding scale di mana jenis kontrak ini berbeda sama sekali dengan jenis kontrak yang ada saat ini. Pembagian angka bagi hasil antara kontraktor dengan pemerintah dibagi sebelum adanya cost recovery.
"Jadi langsung setelah minyak diproduksi langsung dibagi migas bagian pemerintah berapa, kontraktor berapa. Jadi risiko biaya ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor," katanya.
Sammy mengungkapkan, saat ini banyak pihak yang menilai skema bagi hasil dengan gross split sliding scale mirip dengan skema royalti di pertambangan. Padahal, ia menegaskan bahwa sistem ini berbeda. Dalam skema ini, bukan uang yang dinyatakan oleh operator kepada pemerintah, tapi hasil migas yang langsung dibagi.
"Yang fundamental sekarang, tidak adanya cost recovery. Harusnya bisa mempermudah proses eksplorasi dan proses eksplorasi. Apakah cost recoverynya wajar atau tidak, ada pengelembungan atau tidak. Ini lebih simple," katanya.
Sementara skema kontrak ketiga, kata Sammy, adalah skema kontrak yang sudah ada saat ini dipertahankan. Agar pelaku industri migas bisa bertahan, skema bagi hasil saat ini harus kembali ditinjau mengenai pajak yang berkaitan dengan eksplorasi. Ia menilai, eksplorasi harus diperhatikan karena replacement ratio cadangan migas yang ada saat ini tergolong rendah, di bawah 50 persen. Oleh karenanya, ia menilai bahwa pelaku usaha hulu migas perlu didorong untuk tetap lakukan eksplorasi.
"Kita juga minta pemerinah tinjau kembali pajak-pajak lain. Yang mungkin dibebaskan atau ditunda sampai komersil sampai hasilkan minyak atau gas," katanya.
Sammy mengungkapkan, tren lima tahun terakhir menunjukan bahwa lapangan yang sifatnya PSC atau bagi hasil yang tidak berproduksi tidak boleh disubsidi silang. Artinya, biaya produksi dari lapangan yang tidak berproduksi tidak bisa dilakukan subsidi silang dari lapangan yang berproduksi. Hal ini dinilai menyulitkan pengusaha.
"Kita minta ini kembali dipertimbangkan. Bukan sesuatu hal yang baru tapi kita ingin mindset pemerintah diubah yang tadinya sangat dibatasi, tapi bisa disubsidi silang dari lapangan yang berproduksi," ujarnya.