Kamis 08 Oct 2015 17:59 WIB

Beri Diskon ke Industri, Pemerintah Yakin Dapat Tambahan Penerimaan Rp 24,6 T

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Penerimaan pajak
Foto: Bismo/Republika
Penerimaan pajak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah merasa optimistis dengan paket kebijakan ekonomi jilid III yang baru saja dikeluarkan. Salah satunya, adanya penurunan harga gas untuk industri yang akan berlaku mulai 1 Januari 2016.

Dalam keterangan yang diberikan pemerintah, penurunan harga gas untuk industri berpotensi mengurangi penerimaan negara berkisar Rp 6 triliun hingga Rp 13 triliun. Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja menjelaskan, penurunan harga gas sebesar 1 dolar AS per mmbtu bisa memotong penerimaan pajak untuk negara sebesar Rp 6,6 triliun.

“Kalau menurunkan 2 dolar AS per mmbtu, dua kali efeknya tapi tidak sama persis. Penurunan penerimaan sebesar Rp 13,39 triliun,” jelas Wiratmaja, Kamis (8/10).

Meski penerimaan negara menurun, pemerintah menghitung adanya potensi pendapatan yang lebih banyak dari rangsangan ekonomi terhadap industri pengguna gas. Potensi pendapatan pajak baru yang dihasilkan dari peningkatan kegiatan industri, diperkirakan senilai Rp 12 triliun hingga Rp 24 triliun.

Menurut hitungan pemerintah, setiap penurunan 1 dolar AS per mmbtu, maka akan ada peningkatan potensi masukan pajak sebesar Rp 12,3 triliun. Sementara itu, tiap penurunan 2 dolar AS per mmbtu harga gas, pajak yang ditimbulkan diperkirakan mencapai Rp 24,6 triliun. Tak hanya itu saja, Wiratmaja menambahkan, penurunan harga gas untuk industri dapat memberikan dampak ekonomi beruntun atau multiplier effect.

Dari segi efek beruntun, pemerintah menghitung penurunan 1 dolar AS per mmbtu harga gas akan menghasilkan dampak ekonomi sebesar Rp 68,95 triliun. Jika harga gas turun 2 dolar AS per mmbtu, maka dampak ekonomi yang dihasilkan bisa mencapai Rp 137,9 triliun.

“Jadi, range penurunan penerimaan negara antara Rp 6-Rp 13 triliun, dan menimbulkan pajak antara Rp 12-Rp 24 triliun, dan multiplier ekonominya Rp 68- Rp 130 triliun,” tutur Wiratmaja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement