REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Ekonom senior Kwik Kian Gie meninggal dunia pada usia 90 tahun, meninggalkan jejak panjang sebagai pemikir yang kritis, bersahaja, dan konsisten menyuarakan kebenaran. Ia bukan sekadar pejabat atau ekonom, tetapi seorang negarawan yang tak pernah berhenti memperjuangkan kepentingan rakyat.
Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menyebut Kwik sebagai sosok politikus negarawan yang patut menjadi teladan. “Dia adalah sosok politikus yang negarawan, di mana lewat dunia politik yang digelutinya, dia ingin berbuat hal-hal terbaik bukan untuk dirinya dan keluarga serta partai dan kelompoknya, tetapi untuk bangsa dan negara yang dicintainya,” kata Anwar dalam pesan singkatnya kepada Republika, Selasa (29/7/2025).
Meski pernah menduduki jabatan strategis seperti Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri serta Kepala Bappenas, Kwik dikenal tidak gila jabatan. Ia tetap bersuara lantang terhadap ketidakadilan dan korupsi.
“Dia benar-benar terusik dengan kehadiran para pejabat yang melakukan praktik korupsi yang sangat merugikan rakyat, bangsa, dan negaranya,” ujarnya.
Sebagai ekonom, Kwik kerap mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang dari amanat konstitusi. “Banyak sekali kebijakan yang mereka buat dan lahirkan tidak sesuai dengan semangat dan jiwa konstitusi, sehingga akhirnya negara dan rakyat sangat dirugikan,” ungkap Anwar.
Wakil Ketua Umum MUI itu juga menyampaikan kegelisahan Kwik terhadap dominasi dan campur tangan asing dalam kebijakan ekonomi dan politik dalam negeri.
Senada dengan itu, ekonom senior Indef sekaligus Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini menggarisbawahi peran penting Kwik sebagai intelektual publik sejak 1980-an. “Kwik Kian Gie sangat vokal dan berpengaruh sebagai ekonom intelektual tahun 1980-an. Pemikirannya, terutama kritik di media massa, sangat didengar dan berpengaruh,” ujar Didik.
Pada masa Orde Baru, ketika banyak akademisi justru masuk ke lingkar kekuasaan, Kwik memilih tetap berada di luar. “Ia tetap berada di luar, menjalankan peran check and balances secara tidak formal untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan ekonomi,” kata Didik.
Kwik juga menjadi bagian dari Kelompok Ekonomi 30 bersama para ekonom seperti Sjahrir, Rizal Ramli, dan Dorodjatun, yang aktif memberikan kritik di media.
Menurut Didik, pemikiran Kwik tetap relevan hingga kini, terutama soal pentingnya kedaulatan ekonomi. “Ini yang selalu disuarakan, jangan tergantung kepada IMF dan utang agar tidak disubordinasi secara politik oleh kekuatan asing dan Barat,” ujarnya. Ia juga dikenal keras terhadap oligarki dan konglomerat hitam yang menguasai sumber daya melalui lisensi negara, namun merugikan rakyat.
Dalam pandangan Kwik, BUMN memegang peran vital dalam perekonomian nasional. “Bagi Kwik, BUMN adalah separuh ekonomi bangsa dan sangat instrumental. Karena itu penting untuk menjaga BUMN dan aset strategis bangsa,” kata Didik. Ia menyebut pemikiran ini tetap penting dalam konteks saat ini, termasuk dalam menghadapi berbagai tantangan pengelolaan aset strategis seperti Danantara.