Kamis 01 Oct 2015 11:10 WIB

Hipmi: Negara Entrepreneurshipnya Kuat, Komunisme dan Sosialisme Melemah

  Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia
Foto: Yasin Habibi/Republika
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —- Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi), Bahlil Lahadalia punya kiat untuk meredam laju paham komunisme dan sosialisme di Tanah Air. Bahlil mengatakan, negara harus mendorong semangat entrepreneurship bertumbuh-kembang dikalangan warganya.

“Tidak perlu ada kekuatan militer untuk meredam komunisme dan sosialisme. Cukup galakan saja entrepreneurship atau kewirausahaan. Komunisnya akan mati dengan sendirinya,” ujar Bahlil terkait peringatan Hari Kesaktian Pancasila hari ini, Kamis (01/10).

 

Bahlil mencontohkan, negara-negara yang kewirausahaannya sangat kuat seperti Jepang, Amerika Serikat, Taiwan, dan negara barat paham komunisme dan sosialisme ini tidak laku. Contoh paling dekat antara Korea Selatan dan Utara. Di Korsel, kewirausahaan berkembang pesat sehingga negara ini maju dan paham sosialisme dan komunisme  menjadi tidak laku. “Hal yang sama dengan di Jepang, Singapura, Malaysia dan Thailand,” ujar Bahlil.

Sedangkan di Cina, lanjut Bahlil, dengan adanya liberalisasi dan kekuatan entrepreneurship, sosialisme tinggal kenangan. Sedangkan komunismenya mulai tergeser hanya ke sistem politiknya saja. Lama-lama akan hilang dengan sendirinya.

Sebelumnya, menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Mulyono mengungkapkan sudah ada indikasi paham komunis kembali berkembang di Indonesia. Indikasi tersebut terlihat ketika mulai ada desakan dari kelompok-kelompok tertentu yang ingin mengubah fakta sejarah.

Bahlil dalam siaran persnya kepada Republika.co.id mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki akar budaya sejarah kewirausahaan dengan adanya semangat saudagar untuk berdagang menyeberangi samudera sampai ke belahan dunia lain. Namun, budaya kewirausahaan itu perlahan-lahan meredup oleh penjajahan yang menempatkan warga pribumi sebagai kelas pekerja saja.

“Sementara, rekan-rekan dari suku bangsa Arab, Tionghoa, dan India oleh penjajah mereka dijadikan mediator atau pengumpul antara warga pribumi dan penjajah saat itu,” ujar Bahlil.

 

Struktur sosial warisan penjajah inilah yang kemudian berkembang pesat di Tanah Air, sehingga kebanyakan warga bangsa ini hanya puas menjadi karyawan atau kelas pekerja saja. Disaat yang sama ketimpangan sosial makin lama melebar. Situasi ini yang membuat lahan bagi tumbuhnya komunisme dan sosialisme makin subur. “Jadi, struktur sosial inilah yang harus direstruktrurisasi oleh negara. Sehingga tercipta peluang dan kesempatan yang sama dalam mengejar kesejahteraan dan kebahagiaan,” ujar Bahlil.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement