Jumat 27 Jun 2025 19:49 WIB

Ekonom Soroti Lonjakan Surplus BI 2024 Capai Rp 52,19 Triliun

Pendapatan besar BI banyak disumbang dari volatilitas kurs dan bunga SBN.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
BI dalam laporan keuangan tahun 2024 mencatatkan peningkatan surplus yang cukup signifikan sebesar Rp 52,19 triliun. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
BI dalam laporan keuangan tahun 2024 mencatatkan peningkatan surplus yang cukup signifikan sebesar Rp 52,19 triliun. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) dalam laporan keuangan tahun 2024 mencatatkan peningkatan surplus yang cukup signifikan sebesar Rp 52,19 triliun dari angka tahun 2023 yang sebesar Rp 36,31 triliun. Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky, mengkritisi kondisi surplus keuangan yang meningkat di tengah ekonomi yang bergejolak.

“Penghasilan Bank Indonesia pada 2024 merupakan yang terbesar selama ini. Mengalami kenaikan sebesar 20,43 persen dibanding 2023, melanjutkan tren kenaikan selama empat tahun terakhir setelah sebelumnya sempat turun pada 2019 dan 2020,” ujar Awalil dalam keterangannya, Kamis (26/6/2025) lalu.

Baca Juga

Diketahui, BI mencatatkan angka surplus pada 2024 sebelum pajak sebesar Rp 67,35 triliun, dan setelah dikurangi pajak menjadi Rp 52,19 triliun. Ini merupakan surplus terbesar sejak 2016 atau dalam sembilan tahun terakhir.

Surplus dihitung dari total penghasilan sebesar Rp 228,37 triliun dan beban Rp 161,32 triliun. Penghasilan Bank Indonesia disajikan dalam lima komponen dalam Laporan Tahunan Keuangan Bank Indonesia, yaitu: pelaksanaan kebijakan moneter, pengelolaan sistem pembayaran, pengaturan dan pengawasan makroprudensial, pendapatan dari penyediaan pendanaan, serta pendapatan lainnya.

“Pada dasarnya, penghasilan utama Bank Indonesia berasal dari pelaksanaan kebijakan moneter. Pada 2024, komponen ini mencapai Rp 226,89 triliun atau 99,22 persen dari seluruh penghasilan,” ujarnya.

Penghasilan dari pelaksanaan kebijakan moneter pada 2024 terdiri atas delapan kelompok, yakni pendapatan bunga, transaksi syariah, bunga Surat Berharga Negara (SBN) untuk pemulihan ekonomi nasional, bunga SBN dalam rangka kesehatan dan kemanusiaan, imbal hasil SBN syariah untuk kesehatan dan kemanusiaan, transaksi aset keuangan, selisih kurs transaksi valuta asing, dan pendapatan lainnya.

Pendapatan bunga mencapai Rp 91,53 triliun, yang merupakan rekor tertinggi sejauh ini. Selain itu, terdapat pendapatan transaksi berbasis prinsip syariah sebesar Rp 10,73 triliun. Jika digabungkan, totalnya menjadi Rp 102,26 triliun, atau 44,72 persen dari total penghasilan BI.

“Perhitungan pendapatan bunga perlu ditambahkan dengan dua kelompok penghasilan lainnya untuk dapat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, kelompok ini menimbulkan beban yang hampir setara karena dimaksudkan untuk berbagi beban dengan pemerintah,” ungkapnya.

Antara lain, pendapatan bunga SBN pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 26,20 triliun, bunga SBN dalam rangka kesehatan dan kemanusiaan Rp 27,79 triliun, serta imbal hasil SBN syariah untuk kesehatan dan kemanusiaan sebesar Rp 1,09 triliun.

Adapun kelompok transaksi aset keuangan menyumbang Rp 9,71 triliun. Kelompok ini mencakup pendapatan bersifat keuntungan neto setelah memperhitungkan kerugian, antara lain dari transaksi penjualan emas, surat berharga, dan derivatif.

Pendapatan dari selisih kurs transaksi valuta asing mencapai Rp 54,57 triliun atau 21,27 persen dari total penghasilan. Angka ini meningkat 35,15 persen dibanding tahun lalu, meskipun laju kenaikannya lebih rendah dari tahun 2023 yang mencapai 61,31 persen.

“Pendapatan dari kelompok ini biasanya memberi kontribusi besar, dan sempat mencapai 66,57 persen pada 2015. Pendapatan selisih kurs makin besar jika volatilitas kurs rupiah tinggi. Bank Indonesia menetapkan kurs berbeda antara posisi sebagai penjual dan pembeli valuta asing,” jelas Awalil.

Ia menambahkan, komponen penghasilan di luar kebijakan moneter berkontribusi relatif kecil. Antara lain dari sistem pembayaran Rp 249,54 miliar, pengawasan makroprudensial Rp 5,66 miliar, penyediaan pendanaan Rp 67,06 miliar, dan pendapatan lainnya Rp 1,45 triliun.

“Informasi kenaikan pesat penghasilan Bank Indonesia pada 2024 menarik dicermati, terutama jika dikaitkan dengan dinamika sektor moneter dan keuangan. Secara sepintas, pelemahan nilai tukar rupiah justru memberi kontribusi besar bagi penghasilan, tepatnya dalam kondisi volatilitas kurs harian yang cukup tinggi,” kata Awalil.

Ia menyebut, pendapatan bunga dan sejenisnya meningkat seiring kenaikan BI rate dan bunga lending facility. Bukan hanya karena tingkat bunga, tetapi juga volume transaksi dan yield SBN di pasar sekunder berkenaan dengan kepemilikan BI yang makin besar.

“Dibutuhkan penelisikan lebih lanjut atas berbagai kondisi yang saling berkaitan tersebut. Peningkatan penghasilan BI secara amat signifikan memang tak bisa diartikan sebagai pemburukan kondisi moneter dan keuangan. Namun, juga bukan pertanda baik, karena mengisyaratkan stabilitas dan kepastian yang menurun,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement