REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Bank Dunia pada Selasa memperingatkan risiko penurunan besar dalam arus modal ke negara-negara berkembang akibat siklus pengetatan kebijakan moneter AS mendatang. Apalagi jika siklus pengetatan disertai oleh lonjakan dalam imbal hasil (yield) jangka panjang AS, seperti yang terjadi selama "taper tantrum" pada 2013.
Hal ini menurut sebuah makalah penelitian baru yang dirilis oleh Bank Dunia menjelang pertemuan Federal Reserve pekan ini untuk membahas apakah akan menaikkan suku bunga. Istilah "taper-tantrum" telah banyak digunakan untuk menggambarkan bagaimana pasar bereaksi terhadap komentar Ketua Federal Reserve Ben Bernanke (ketika itu).
Terutama komentar Fed mungkin memperlambat atau mengurangi tingkat pembelian obligasi, yang merupakan bagian dari pelonggaran kuantitatif (program stimulus ekonomi) Penelitiannya menunjukkan lompatan 100 basis poin dalam imbal hasil jangka panjang AS, seperti yang terjadi selama "taper tantrum".
Sementara bisa mengurangi agregat aliran modal ke pasar negara-negara berkembang hingga 2,2 persentase poin dari gabungan produk domestik bruto (PDB) mereka. Meskipun makalah itu memperkirakan siklus pengetatan itu mungkin halus, itu masih menjalankan risiko yang terkait dengan volatilitas pasar, dalam pandangan ekonomi global adalah penyesuaian dengan melemahnya prospek pertumbuhan, pelambatan perdagangan internasional dan harga komoditas yang terus-menerus rendah.
"Risiko diperparah oleh lonjakan terbaru dalam volatilitas di pasar keuangan global dan memburuknya prospek pertumbuhan di negara-negara berkembang," kata Ayhan Kose, direktur Development Prospects Group, Bank Dunia.