REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Bank Dunia dan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), lembaga pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada Kamis (27/6/2025) meluncurkan perjanjian baru untuk bekerja sama dalam pengembangan dan pembiayaan tenaga nuklir yang aman bagi negara-negara berkembang, termasuk memperpanjang masa operasional reaktor yang sudah ada.
Presiden Bank Dunia, Ajay Banga, dan Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, dijadwalkan menandatangani nota kesepahaman di Paris. Kesepakatan ini menandai kembalinya Bank Dunia dalam pembiayaan energi nuklir sebagai bagian dari bauran energi global.
Dalam pernyataan bersama, IAEA dan Bank Dunia sepakat untuk bekerja sama membangun kapasitas pengetahuan di bidang energi nuklir. Fokus kerja sama mencakup keselamatan, keamanan, perencanaan energi, serta pengelolaan limbah nuklir.
Kedua lembaga juga menyatakan akan bekerja sama memperpanjang umur pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang ada sebagai sumber energi rendah karbon yang hemat biaya. Selain itu, kerja sama akan diarahkan untuk mempercepat pengembangan reaktor modular kecil (small modular reactors/SMR), yang dinilai memiliki potensi besar untuk diadopsi secara luas di negara-negara berkembang.
Dalam sambutannya, Banga menekankan pentingnya pasokan listrik dasar yang andal dari energi nuklir untuk mendukung sektor-sektor penggerak ekonomi seperti infrastruktur, agribisnis, layanan kesehatan, pariwisata, dan manufaktur.
“Pekerjaan membutuhkan listrik. Begitu juga pabrik, rumah sakit, sekolah, dan sistem air. Dengan lonjakan permintaan, termasuk dari perkembangan AI dan pembangunan, kita harus membantu negara-negara menyediakan daya yang andal dan terjangkau,” ujar Banga dikutip dari laman Reuters.
“Itulah sebabnya kami merangkul energi nuklir sebagai bagian dari solusi, dan kembali menjadikannya bagian dari bauran energi yang ditawarkan Grup Bank Dunia kepada negara-negara berkembang untuk mencapai ambisi pembangunan mereka,” kata Banga.
Sementara itu, Grossi menyebut perjanjian ini sebagai “tonggak sejarah” dan menilai bahwa hal ini merupakan tanda bahwa dunia mulai kembali bersikap realistis terhadap energi nuklir. Ia mengatakan kesepakatan ini membuka peluang bagi bank pembangunan multilateral dan investor swasta untuk mempertimbangkan tenaga nuklir sebagai opsi yang layak untuk menjamin ketahanan energi.
Ia juga menyebut kemitraan ini sebagai “langkah awal yang krusial” untuk membuka jalur pembiayaan bagi teknologi reaktor modular kecil, yang berpotensi menyediakan energi bersih untuk perekonomian negara berkembang.