Rabu 08 Jul 2015 15:18 WIB

Pemerintah tak Konsisten, Indonesia Darurat Minerba

Rep: Sonia Fitri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja memeriksa proses pengolahan biji tambang PT Freeport Indonesia, Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Sabtu (14/2).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Pekerja memeriksa proses pengolahan biji tambang PT Freeport Indonesia, Tembagapura, Mimika, Timika, Papua, Sabtu (14/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Satya Yudha menyebut, Indonesia tengah mengalami situasi darurat Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba). Hal tersebut pasca merespons sikap pemerintah untuk PT Freeport Indonesia. Di mana, Peraturan turunan undang-undang No 4/2009 tentang Minerba makin jauh dari esensi undang-undang itu sendiri.  

"Seharusnya jangan menyatukan antara aspek ekonomi dan hukum, jangan sampai hukum berubah dipengaruhi ekonomi," kata dia dalam diskusi bertajuk "Perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUPK) berpotensi melanggar UU Minerba?" pada Selasa (7/7).

Dampak ketidakkonsistenan antara UU dan Peraturan turunannya, pelaksanaannya menjadi tak jelas dan darurat. Semua bermula dari diubahnya rezim kontrak menjadi rezim izin. Membuat apa yang diamanatkan UU yang seharusnya mengikat dalam waktu, namun terlampaui dan tidak bisa dijalankan.

Sebenarnya, lanjut dia, perubahan kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bagus-bagus saja, bahkan membuat pengelolaan sumber daya lebih berdaulat. "Tapi ia dikhawatirkan menjadi masalah karena ada perusahaan yang melanggar kontrak karya sejak lama," ujar dia.

Semakin banyak permen untuk dispensasi kelompok usaha tertentu, semakin karut-marutlah UU Minerba. Maka, adalah tugas DPR untuk mengingatkan pemerintah.

Jika pun pemerintah berniat memperpanjang kontrak Freeport, harus disiapkan seperangkat negosiasi dan perangkat hukumnya. Sebab banyak perusahaan yang minta "kemudahan" kanan kiri soal usahanya di bidang Minerba yang harus dikendalikan dengan ketegasan hukum.

Satya pun mengusulkan disusunnya peraturan perundang-undangan yang bisa mendefinisikan secara jelas dan detail soal pengelolaan minerba. Misalnya, definisi masa kontrak diperjelas, atau proses pemurnian diatur sampai berapa persen. "Prosesnya tidak mudah dan makan waktu, maka perlu masukan dari publik dan dunia industri agar revisinya baik," ujarnya.

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement