Selasa 14 Oct 2014 17:24 WIB

Pengamat: Kenaikan BBM Jauh Lebih Baik Bagi Investor

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Realisasi rencana kerja pemerintahan baru mendatang dinanti para investor, termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Isu kenaikan BBM membawa respon positif karena pemerintah dinilai kelak lebih mampu merealokasikannya untuk sektor produktif.

Pengamat ekonomi Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan akan lebih baik jika pemerintah baru segera menaikkan harga BBM. Lontaran yang pernah dikemukakan tim transisi mengenai rencana kenaikan BBM pada November 2014 dinilai Lana sudah bagus.

Ia justru mewaspadai kenaikan sebelum Februari 2014. ''Jika BBM naik setelah Maret, Indonesia akan menghadapi potensi kenaikan Fed Rate. Jika itu terjadi, BI akan juga memacu suku bunga dan tekanan untuk ekonomi Indonesia malah lebih besar,'' tutur Lana, Selasa (14/10).

Jikapun dengan kanaikan BBM terjadi inflasi, ia melihat sifatntya sementara dan akan normal dalam tiga bulan setelahnya. Hanya saja, kenaikan BBM harus segera ditanggapi dengan perubahan APBN 2015 segera setelah Joko Widodo dilantik sebagai presiden.

''Akan sangat sayang jika BBM naik tapi realokasinya tidak segera digarap. Karena subsidi jadi berkurang tanpa bisa memperbesar keleluasaan fiskal,'' kata Lana. Adanya pengurangan subsidi yang nantinya bisa dimuat dalam APBNP 2015, juga bisa menaikkan rating pasar modal Indonesia oleh S&P yang saat ini BB+ menjadi BBB-.

Rating BBB- membuat pasar modal Indonesia berada di level confirm investment grade yang bisa mengundang capital inflow jangka panjang yang ditempatkan dalam obligasi dibanding sekadar hot money jangka pendek.

Perlambatan ekonomi yang diprediksi tidak mencapai target 5,8 persen juga dinilai Lana memang didesain untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan dan tingginya impor. Ini pun masih bisa diterima investor karena ada upaya perbaikan kondisi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement