Selasa 22 Oct 2013 07:37 WIB

Diplomasi Ekonomi untuk Tingkatkan Ekspor

Rep: Heri Purwata/ Red: Djibril Muhammad
Ekspor (ilustrasi)
Foto: Antara/Widodo S. Jusuf
Ekspor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Walaupun negara kaya minyak, namun negara Uni Emirat Arab ini tidak tergantung pada (UEA) minyak bumi dan gas. Kini, tinggal 30 persen perekonomian negara itu yang bergantung kepada minyak-gas, sedang 70 persen ekonomi dibangunan dari jasa dan transportasi.

Demikian diungkapkan Duta Besar RI untuk UEA, Salman al Farisi ketika memberikan kuliah umum bagi  mahasiswa UII dan UGM di Auditorium Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Senin (21/10).

Kuliah umum dengan tema 'The Future of Emerging  Markets: Brazil and The United Arab Emirates' juga menghadirkan Duta Besar RI untuk Brazil Sudaryomo Hartosudarmo. Kuliah dibuka Rektor UII Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc.

 

Lebih lanjut Salman mengatakan negara UEA cukup aktif berinvestasi pengembangan energi di negara lain. Juga  membuat karya yang unik yang bisa membuat orang selalu ingin datang dan melihatnya, seperti hotel tertinggi, mal terbesar dan lainnya.

"Terkait dengan Indonesia, perlu dikembangkan pemikiran diplomasi ekonomi yang tidak konsep tetapi target," kata Salman.

Ia memandang penting diplomasi politik ditekankan sehingga ada target nyata. "Bisa saja  seorang Dubes bila bertugas diberi target untuk menghasilkan investasi ke Indonesia, jika tidak mencapai taarget dipersilakan mundur," tutur Salman.

Saat ini, tekstil masih menjadi andalan impor Indonesia ke UEA. "Bahkan seragam militer UEA itu dari Indonesia, produk Sritek Solo," ujarnya sambil menambahkan produk furniture Indonesia banyak ke sana.

Meski memiliki SDA minyak dan gas yang luar biasa, UEA disebut Salman Al Farisi, sebagai negara yang pertama mengembangkan pusat listrik tenaga nuklir dan juga menggunakan pusat listrik tenaga matahari.

Negeri itu juga mengembangkan energy di negeri lain dan terus melakukan penelitian sumber yang lain, mengingat kebutuhannya hampir mencapai kapasitas yang dimiliki. "Dengan demikian, tidak seperti Indonesia yang sampai sekarang masih suka byar-pet," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement