Kamis 29 May 2025 13:35 WIB

Ekonom Celios Nilai Data Kemiskinan Belum Akurat, Berdampak pada Pemulihan Ekonomi?

Kondisi pemulihan ekonomi dinilai bakal minim pada semester II 2025.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Penduduk membawa barang-barangnya di depan rumah mereka di Jakarta.
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Penduduk membawa barang-barangnya di depan rumah mereka di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai data kemiskinan masyarakat Indonesia simpang siur dan tidak akurat. Diprediksi, akibat tidak akuratnya data kemiskinan, kondisi pemulihan ekonomi bakal minim pada semester II 2025.

“Ini satu hal yang urgent dan sebenarnya sudah lama ingin disuarakan, ini momentum bahwa saat ini akurasi dan validasi data kemiskinan dan pengangguran itu penting. Karena situasi ekonomi ada kecenderungan mengalami tekanan, dari perang dagang efek terhadap kehilangan output ekonominya Rp 164 triliun, meskipun sekarang sedang masa jeda,” ujar Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara dalam diskusi Celios bertajuk ‘Sebenarnya Ada Berapa Juta Orang Miskin dan Menganggur di Indonesia?’ yang digelar secara virtual, Rabu (27/5/2025).

Baca Juga

Bhima mengatakan, kondisi tersebut menunjukkan bahwa situasi ekonomi yang memburuk akan menimbulkan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK), terjadi pengurangan serapan kerja, penundaan perekrutan perusahaan, pekerja kontrak tidak diperpanjang, hingga pemotongan yang signifikan pada bonus tunjangan para pekerja.

“Kalau ada Satgas PHK, jadi tahu siapa yang kemudian harus ditolong pertama kali dari korban PHK untuk memastikan mereka medapatkan haknya, mendapatkan berbagai bantuan dari pemerintah. Maka data ini menjadi sangat penting,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bhima menerangkan secara lebih rinci mengenai kondisi ekonomi di Indonesia saat ini berdasarkan data-data yang dihimpun. Serta kondisi berbagai industri yang dinilai mengalami tekanan.

Ia menerangkan, kontribusi simpanan perorangan terus mengalami penurunan, seiring dengan adanya fenomena makan tabungan (mantab). Situasi mantab disebut mengindikasikan bahwa ada kelompok menengah pada saat ini, -karena berbagai tekanan ekonomi termasuk suku bunga yang relatif tinggi- turun derajatnya menjadi kelompok miskin baru.

“Apakah data orang miskin baru itu juga sudah ter-capture, sudah diambil oleh pemerintah sebagai database penerima berbagai bantuan yang menyasar masyarakat miskin. Semua bermula dari datanya, ada apa tidak, dan kalau datanya ada, bagaimana metodologi pengambilan data itu? Bagaimana caranya agar menangkap perubahan-perubahan ekonomi yang sangat dinamis sehingga bantuannya tepat sasaran?” terangnya.

Bhima melanjutkan, adapun kondisi inflasi saat ini terpantau berada pada posisi rendah. Sekalipun sebelumnya ada dorongan dari diskon tarif listrik dan beberapa insentif yang dilakukan sebelum Lebaran, tetapi inflasi masih tetap rendah. Itu menunjukkan bahwa ada kebingungan mengenai data siapa yang menyebabkan inflasi rendah dari sisi konsumsi rumah tangga yang tertahan.

“Itu datanya tidak akurat, datanya tidak bisa mencerminkan kondisi riil, sehingga pengambil kebijakan bingung sebelah mana yang harus dilakukan intervensi,” ujar dia.

Pelemahan Geliat Bisnis

Bhima menilai, kondisi para korban PHK yang marak terjadi tidak didata dengan baik dengan by name by address, termasuk sektor-sektornya.

“Padahal kita lihat efek dari industri yang tertangkap saja misalnya oleh data-data dari BPS itu kan semuanya turun, tapi kok tingkat pengangguran terbukanya rendah. Jadi banyak data yang simpang siur padahal industrinya sudah mengindikasikan adanya tekanan yang cukup dahsyat,” tuturnya.

Ia menyebut, ada banyak sekali sektor yang mengalami penurunan pertumbuhan. Seperti sektor penjualan kendaraan bermotor, penjualan mesin konstruksi, sektor ritel, dan sektor properti.

Juga pada sektor komoditas. Harga komoditas terpantau sedang mengalami penurunan. Sehingga menjadi pertanyaan pula apakah para pekerja yang dulunya bekerja di sektor tambang, yang kemudian membutuhkan bantuan subsidi upah atau bantuan pangan, memperoleh bantuan tersebut.

“Ini baru bicara soal mereka yang terdampak dari sisi pekerjaan. Belum bicara soal perbandingan data kemiskinan dari Bank Dunia yang 60,3 persen lebih penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Berarti anggaran subsidi energi itu tidak relevan hari ini, anggaran terkait dengan perlindungan sosial itu juga menjadi tidak relevan,” ungkapnya.

Ia menyinggung bahwa narasi yang muncul adalah subsidi tidak tepat sasaran. Bahwa yang menikmati bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite atau solar adalah orang-orang yang mampu. Sedangkan jika menggunakan data kemiskinan upper middle income countries-nya Bank Dunia, terlihat gap-nya sangat jauh, yang tadinya dianggap sebagai orang mampu ternyata masuk dalam kategori butuh perlindungan sosial melalui subsidi dan bantuan langsung dari pemerintah.

“Ini pentingnya melihat secara jernih apa yang perlu kita lakukan dengan pendataan yang ada di pemerintah saat ini,” ujar dia.

Kemudian, sektor perbankan, Bhima juga mengatakan sektor tersebut mengalami pelemahan. Pada awal 2000-an yang silam, pada event-event job fair, sektor perbankan terbilang paling eksis, sehingga menjadi buruan bagi para pencari kerja terutama fresh graduate. Sedangkan saat ini, di tengah tantangan perkembangan AI, kondisi tersebut berubah.

“Sekarang perbankan juga mengalami penurunan dengan jumlah aset yang terus rendah pertumbuhannya. Sehingga mereka yang tidak bisa tertampung di sektor perbankan menjadi korban dari alih fungsi teknologi perbankan yang semakin efisien, apakah pemerintah punya data soal itu?” terangnya.

Bhima melanjutkan, di sektor teknologi juga mengalami pelemahan. Pada 2016 lalu telah booming startup dan e-commerce, namun pertumbuhannya saat ini cenderung lebih lambat. Yang artinya bahwa tech winter benar-benar terjadi.

Stimulus Pemerintah

Bhima juga menyoroti mengenai stimulus pemerintah yang dinilai tidak optimal. Ia menyebut, stimulus pemerintah yang baru yakni bantuan subsidi upah, kuantitasnya mengecil dari sebelumnya pada masa Covid-19 sebesar Rp 600 ribu per bulan menjadi Rp 150 ribu per bulan. Selain kecil, yang memperoleh bantuan juga hanya pekerja formal dengan mengacu pada data BPJS Ketenagakerjaan.

“Lalu yang pekerja informal dan outsourcing, pasti tidak dapat subsidi upah. Dan pemerintah seolah tutup mata untuk mencari data pekerja di sektor informal, itu yang menjadi persoalan. Sehingga begitu pemerintah seolah berbaik hati untuk menggelontorkan stimulus agar daya beli masyarakat paskalebaran itu bisa lebih meningkat lagi, tapi di sisi lain karena datanya tidak ada, dan datanya juga enggak dicari secara serius, jadi banyak pekerja yang menjadi korban diskriminasi bantuan sosial, mereka ter-exclude dari bantuan sosial,” jelasnya.

Ia melanjutkan, stimulus berupa diskon tarif listrik 50 persen juga menimbulkan pertanyaan. Stimulus yang berjalan selama dua bulan tersebut diperuntukkan bagi pelanggan dengan skala penggunaan listrik 1.300 VA dengan target penerima sebanyak 79,3 juta rumah tangga. Padahal data BPS mencatat jumlah masyarakat miskin berjumlah 24 juta. Di samping itu juga, ia mempertanyakan nasib para pekerja yang tinggal di kos-kosan dan kontrakan yang turut menanggung biaya listrik karena kebetulan rumah yang disewa memiliki kapasitas listrik di atas 1.300 VA. Kondisi itu dinilai menimbulkan bias karena banyak yang akan dikecualikan dari stimulus tersebut.

“Stimulus yang dilakukan oleh pemerintah sudah kecil, datanya juga tidak terlalu akurat efeknya juga pasti akan minim kepada pemulihan ekonomi di semester II 2025,” ungkap Bhima.

Menurutnya, pemerintah tidak perlu khawatir jika perlu melakukan revisi mengenai data kemiskinan dan pengangguran yang sesuai dengan kenyataan. Pemerintah meski memikirkan tentang perlunya data yang akurat agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan bisa lebih strategis dan tepat sasaran.

“Kami mengingatkan pemerintah. Jangan hanya karena malas melakukan revisi metodologi, banyak dari mereka yang berhak tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah,” tegasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement