REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan ada beberapa persoalan kedelai sehingga harus mengimpor kedelai. Kepala Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan Kementan Sarsito Wahono Gaip Subroto mengatakan, secara normatif kedelai bersama-sama dengan komoditas lain seperti padi dan jagung adalah komoditas yang ditargetkan untuk swasembada pangan.
“Namun lahan untuk menanam kedelai tetap bahkan turun karena alih lahan yang luar bisa. Dalam enam tahun terakhir, luas area kedelai menurun sekitar 0,04 persen,” katanya saat acara dialog publik Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dengan tema 'Peluang dan Tantangan Pengembangan Kedelai Nasional' di Jakarta, Kamis (19/9).
Adapun lahan yang mampu ditanami kedelai tidak lebih dari 90 ribu hektare. Tidak hanya itu, kata Gaip, produksi kedelai semakin menurun karena harga kedelai rendah sehingga membuat petani kedelai tidak bergairah untuk menanam kedelai. Namun, produksi kedelai nasional selama kurun waktu tahun 2010-2012 sangat menurun bahkan minus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan daerah sentra produksi kedelai seperti Aceh dan Lampung juga mengalami penurunan produksi.
Meski produksi kedelai pada tahun 2013 agak naik, dia melanjutkan, tetapi pertumbuhannya tidak terlalu tinggi. Dia menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketersediaan kedelai pada 2013 diramalkan akan minus 1,113 juta ton, padahal kebutuhan kedelai nasional tahun 2013 sebesar 1,96 juta ton. Persoalan semakin bertambah saat pertumbuhan penduduk Indonesia meningkat. “Karena lahan kedelai yang tetap, dan produksi yang tidak meningkat cukup tinggi sehingga kita harus impor,” tuturnya.
Namun impor kedelai bukan berarti selesai. Persoalan kembali muncul yaitu saat nilai tukar dolar AS naik turun dan merembet ke devisa negara. “Sehingga kita harus mengatur supaya produksi kedelai ditingkatkan melalui luas panen dan produktivitas. Dua-duanya harus meningkat untuk pencapaian produksi,” ujarnya.
Pihaknya mengaku akan mengupayakan solusi sama-sama menguntungkan dimana petani kedelai harus untung dan masyarakat tidak dirugikan. Untuk itu, dia melanjutkan, dibutuhkan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. “Untuk menyelesaikannya perlu ada kerja sama berbagai pihak,” ucapnya.
Gaip mencontohkan, para petani justru memilih menanam padi saat musim kemarau basah. Padahal Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia menyatakan bahwa cuaca saat kemarau basah merupakan saat yang tepat untuk menanam kedelai. “Untuk itu kami berharap pihak BMKG bisa memberikan informasi perkiraan cuaca,” ujarnya.
Pihaknya juga akan bekerja sama teknologi spesifikasi dengan instansi seperti Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagai upaya-upaya mencapai varietas produksi. Upaya lain yang harus dilakukan adalah memastikan masa tanam kedelai yang harus tepat. “Karena benih kedelai tidak seperti padi dimana jika lewat dari masa penanaman maka tidak bisa ditanam lagi,” tuturnya.