REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan akan lebih selektif dalam memberikan kredit impor. Hal tersebut ditujukan agar defisit transaksi berjalan dapat berkurang dan tercapainya stabilisasi. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyatakan tidak mau pertumbuhan yang tinggi menimbulkan ketidakstabilan karena kaitannya dengan transaksi berjalan.
PT Bank OCBC NISP, Tbk menyatakan bank harus selektif dalam memilih kredit impor yang sifatnya produktif dan konsumtif. Kredit impor produktif contohnya adalah pembiayaan untuk impor mesin. "Tentunya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas produksi. Hal seperti ini akan terus didukung," ujar Presiden Direktur Bank OCBC NISP, Parwati Surjaudaja, Senin (26/8).
Pada semester I-2013, penyaluran kredit Bank OCBC NISP meningkat 19 persen yoy menjadi Rp 57 triliun. Sebanyak 41 persen dari total kredit disalurkan untuk modal kerja, 36 persen untuk investasi dan sisanya, atau sebesar 23 persen, untuk konsumsi. Kredit untuk konsumsi menurun. Pada kuartal I-2012, kredit untuk konsumsi sebesar 27 persen.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Difi Johansyah, mengatakan kredit impor pada Juni melonjak. "Kita tak membatasi apapun tapi kita ingin stabilisasi," ujar Difi.
Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis BI, kredit impor mengalami kenaikan pada triwulan II-2013. Data menunjukan portofolio kredit untuk impor menembus Rp 57,19 triliun pada akhir Juni 2013, meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 53,31 triliun. Sedangkan pada Januari kredit untuk impor tercatat sebesar Rp 38,29 triliun.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia, Tbk, Dian Ayu Yustina, mengatakan ke depannya perbankan akan terkena kebijakan BI yang bertujuan untuk memperlambat kredit. Perlambatan di pertumbuhan kredit perbankan bertujuan untuk mengurangi defisit transaksi berjalan. "Kredit impor harus turun, tetapi hal tersebut lebih kepada keputusan dari setiap perbankan. Kredit konsumsi harus diturunkan sehingga impor tak tinggi," ujarnya.