Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Raihan itu terbilang luar biasa karena menandakan roda perekonomian di Jatim bergerak ke arah positif. Apalagi, pertumbuhan ekonomi Jatim tidak mengandalkan penjualan hasil tambang ataupun sektor migas.
Tidak bisa dimungkiri, salah satu penggerak perekonomian utama adalah berkembangnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Berdasarkan data BPS Jatim pada 2012, sumbangsih UMKM mencapai 53,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau setara Rp 415,7 triliun.
Dengan jumlah angkatan kerja lebih 20 juta jiwa dan tingkat pengangguran terbuka sekitar 800 ribu orang (4 persen), peran UMKM bisa diandalkan untuk mengentaskan pengangguran. Ini lantaran dari 4.211.562 UMKM, secara riil mampu mempekerjakan 11 juta orang.
Melihat realita itu, tentu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim tidak bisa lagi memandang sebelah mata mereka. Pasalnya, keberadaan sektor kelompok ekonomi menengah ke bawah ini membuktikan diri sukses menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dan layak untuk memberdayakan.
Jika diperinci, jumlah UMKM yang beroperasi di Jatim, setidaknya 3.583.699 (85,09 persen) termasuk usaha kelas mikro, sebanyak 597.737 (14,19 persen) usaha skala kecil, dan 24.128 (0,57 persen) usaha kelas menengah. Sisanya, 5.998 (0,15 persen) termasuk ke dalam kategori usaha besar.
Dari sekitar 4,2 juta unit usaha itu, Dinas Koperasi dan UKM Jatim mencatat hanya 30 persen yang layak (feasible) dan terbiasa berhubungan dengan bank (bankable). Adapun, 70 persen atau sekitar 3 juta UMKM baru memenuhi kriteria feasible, namun belum bankable. Mengacu data itu, kedepannya, kebijakan Pemprov Jatim harus pro dengan pengembangan ekonomi wong cilik, bukan pemodal besar.
Ingat, masih ada 3 juta UMKM yang belum menikmati program suntikan dana lunak dari bank. Kalau saja angka itu bisa ditingkatkan, dampaknya ialah otomatis pertumbuhan ekonomi bisa lebih digenjot. Efeknya beruntun karena dapat menurunkan tingkat pengangguran dan meningkatkan pendapatan rakyat.
Kiprah Bank Jatim
Di saat Provinsi Jatim tercatat pertumbuhan ekonominya menawan, performa Bank Jatim juga mengalami kemajuan. Selama 2012, perusahaan mencatat pertumbuhan aset mencapai Rp 29,11 triliun atau naik 17,17 persen dari periode sebelumnya sebesar Rp 24,9 triliun.
Kontribusi terbesar pertambahan aset didapat dari dana pihak ketiga (DPK) sekitar Rp 22 triliun dan penyaluran kredit sebanyak Rp 18,55 triliun. Sedangkan, pendapatan dari bunga mencapai Rp 1,95 triliun.
Melihat raihan Bank Jatim yang positif, tentu sebuah kabar gembira bagi manajemen dalam menjalankan roda organisasi. Meski perlu terus ditingkatkan, mau tidak mau, apresiasi layak diberikan kepada pucuk pimpinan hingga bawahan atas prestasinya itu.
Mengacu target untuk bisa membukukan aset hingga Rp 34,53 triliun dan penyaluran kredit sebesar Rp 23 triliun pada akhir 2013, tentu bukan persoalan mudah. Diperlukan komitmen kuat dan visi tangguh untuk bisa merealisasikannya. Kondisi itu terkait revisi pertumbuhan ekonomi nasional dari 6,4 persen menjadi maksimal 6,2 persen atau bisa di bawahnya.
Kenaikan harga BBM yang diikuti harga berbagai kebutuhan pokok diprediksi membuat pertumbuhan ekonomi sedikit mengalami perlambatan. Otomatis realitas itu berakibat pada menurunnya geliat perekonomian pasar, termasuk penetrasi bank.
Meskipun Gubernur Jatim Soekarwo optimistis pertumbuhan ekonomi wilayahnya bisa mencapai 7,5 persen, banyak pengamat menilai angka itu terlalu tinggi. Pasalnya, perlambatan ekonomi nasional sangat berimbas ke Jatim. Sehingga, mau tidak mau, manajemen harus berupaya keras untuk bisa merealisasikan target perusahaan.
Sesuai hasil penelitian bahwa sektor yang paling terpukul akibat kenaikan harga BBM adalah usaha skala kecil, tentu Bank Jatim tidak boleh tinggal diam. Melihat peluang untuk bisa melakukan pengembangan pasar, bank berbentuk logo sayap berwarna merah ini wajib memaksimalkan peluang di depan mata.
Memberikan pinjaman lunak kepada pelaku UMKM sebagai bentuk pertolongan agar sektor ini bisa berkembang merupakan sebuah keniscayaan. Selain bisa mencegah rontoknya usaha kelompok kecil, juga dapat ikut membantu pemerintah mencegah semakin banyaknya pengangguran karena terbukti banyak menyerap tenaga kerja.
Pasalnya, kalau pelaku usaha kecil dibiarkan tanpa dibina, besar peluangnya mereka akan gulung tikar. Padahal, sebagaimana kita percaya, mereka inilah yang sebenarnya layak mendapat sebutan pahlawan ekonomi. Selain jarang merepotkan pemerintah, mereka juga selalu kreatif dalam menjalankan usahanya.
Pelaku usaha ini telah berkontribusi nyata di tengah keterbatasan yang dimiliki. Sayangnya, raihan itu jarang terekspos ke publik sehingga mereka jarang mendapat apresiasi.
Bank Jatim sebagai kepanjangan tangan pemprov yang memiliki tugas untuk memberdayakan masyarakat, selain meraih keuntungan tentunya, pasti tidak rela melihat kenyataan itu. Karena tanpa adanya keberpihakan pemerintah, masa depan UMKM bisa tumbang satu per satu.
Jika hal itu terjadi, semakin banyak saja jumlah pelaku usaha kecil yang gulung tikar dan sewaktu-waktu menjadi beban pemerintah. Sehingga, perlu dilakukan penyelamatan dengan cara intervensi kebijakan. Misalnya, dengan penyaluran modal tepat sasaran agar keberlangsungan UMKM dapat berlanjut.
Langkah Bank Jatim membesarkan unit usahanya dengan perluasan jaringan operasional harus diikuti dengan upaya peningkatan bantuan terhadap UMKM. Pembukaan 180 kantor baru tidak boleh luput dari upaya membawa misi untuk membesarkan peran usaha kecil agar lebih berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Jatim.
Pemberian kredit lunak bagi usahawan yang memiliki rekam jejak bagus dan sukses dalam melahirkan berbagai produk kreatif bisa dijadikan pelopor. Bantuan dalam bentuk penyediaan modal memang mendesak dilakukan. Karena kita tahu, pengusaha kecil biasanya menjadikan modal sebagai sarana bertahan, sembari melakukan inovasi produk untuk ekspansi pasar.
Langkah awal, Bank Jatim dapat bersinergi dengan PT Jamkrida yang dibentuk dengan misi untuk memberi pinjaman lunak dengan bunga terjangkau 6 persen per tahun. Namun, tidak luasnya jaringan perusahaan daerah itu membuat akses untuk mendapatkan bantuan menjadi terbatas. Alhasil, diperlukan kehadiran Bank Jatim di tengah masyarakat sebagai solusi untuk menolong keberadaan UMKM.
Perhatian sekecil apa pun dari bank jelas sebuah pelipur dahaga bagi para penggiat UMKM. Tidak bisa dimungkiri, sebenarnya mereka sangat mendambakan adanya bantuan, meski tidak selalu dalam bentuk materi, sebagai upaya untuk menggerakkan usahanya. Sedianya kalau mereka difasilitasi dengan berbagai macam program bantuan, tentu kebijakan tersebut tidak bakal disia-siakan.
Penulis yakin, kebijakan tersebut pasti sangat dinantikan lantaran kalau sampai harus bersaing dengan pemodal besar, pasti mereka sudah keder duluan. Misalnya, pemda mau membukakan pasar atau menjembatani dengan konsumen yang siap menerima berbagai produk yang dibuat pelaku UMKM. Promosi yang gencar juga tidak bisa dinafikan sebagai pertolongan Bank Jatim terhadap pelaku usaha kecil.
Tidak ketinggalan, kiprah Bank Jatim yang mesti ikut memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat yang siap menyongsong era pasar bebas Asia Tenggara ataupun dengan Cina harus ditingkatkan. Tanpa adanya penguatan sektor ekonomi berbasis kerakyatan, ditakutkan berbagai produk luar bakal menguasai Jatim. Hal itu tentu tidak diharapkan. Sekali lagi, kalau bisa, UMKM dapat memegang kendali pasar dalam negeri. Dan, Bank Jatim harus hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya pelaku usaha kecil.