REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA) menuding Bank Indonesia (BI) mematikan bisnis mereka. APVA menilai, pemberlakuan Surat Edaran BI (SEBI) Nomor 15/3/DPM yang mengatur pembelian valas berpotensi mematikan bisnis.
Ketua Umum APVA Indonesia, Muhamad Idrus mengatakan, SEBI mengharuskan pedagang valas untuk menyerahkan data nasabah yang bertransaksi di atas 100 dolar AS kepada bank. "Dengan ketentuan seperti itu, bank dapat mengambil nasabah kami," ujar Idrus di Jakarta, Selasa (30/4).
Idrus mengatakan, data nasabah yang harus diserahkan pada bank adalah KTP nasabah, tujuan transaksi dan kontraknya. Dengan berbekal data transaksi masing-masing nasabah pedagang valuta asing, bank dianggap dapat mengambil alih peranan mereka.
Selain menolak memberikan data, APVA juga menolak pembatasan transaksi 100 ribu dolar AS per bulan. "Jualan kami kan valas," ujarnya.
BI menerbitkan Surat Edaran No 15/3/DPM mengenai Perubahan Kedua atas SEBI No 10/42/DPD perihal pembelian valas terhadap rupiah kepada Bank. Surat edaran ditujukan untuk meningkatkan kehati-hatian dalam transaksi pembelian valas terhadap Rupiah kepada bank. Khususnya pembelian valas terhadap rupiah yang dilakukan oleh pedagang valas.
Idrus merasa BI menganggap seluruh pedagang valas sebagai pelaku utama spekulasi di pasar dan menyebabkan ketidakstabilan nilai tukar rupiah. "Nilai transaksi kami belum menggoyahkan nilai tukar rupiah," ujar Idrus.
Menurutnya, APVA Indonesia telah mencanangkan gerakan cinta rupiah dan mengapresiasi diterapkannya UU No 7/2011 tentang mata uang. Terutma Pasal 21 ayat 1 tentang kewajiban penggunaan rupiah sebagai alat transaksi yang sah di Indonesia.