Kamis 14 Mar 2013 16:52 WIB

Penyaluran Kredit Hortikultura Sangat Rendah

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Nidia Zuraya
Produk Hortikultura (Ilustrasi)
Foto: infopublik.org
Produk Hortikultura (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Realisasi penyaluran kredit untuk sektor hortikultura ternyata sangat rendah. Sejak awal pemerintah menyalurkan kredit pertanian hingga Januari 2013, penyalurannya baru mencapai 0,18 persen dari total penyaluran kredit perbankan.

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan realisasi kredit sektor hortikultura baru mencapai Rp 4,9 triliun dari total penyaluran kredit perbankan, yaitu Rp 2.705 triliun. Asisten Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan dari total kredit hortikultura yang disalurkan tersebut ternyata masih didominasi untuk pertanian jeruk.

"Untuk kelompok bawang-bawangan sangat kecil," kata Perry dijumpai saat menjalani uji kelaikan sebagai calon Deputi Gubernur BI di Gedung DPR Jakarta, Kamis (14/3). Kredit hortikultura juga hanya mengambil porsi 3,4 persen dari total kredit sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan yang mencapai Rp 142,607 triliun. Lebih dari 63 persen dari total kredit pertanian dialokasikan ke sektor kelapa sawit.

Perry mengatakan BI sedang mengaji sebab rendahnya penyaluran kredit ke sektor hortikultura. Beberapa hipotesis yang dikemukakannya adalah permasalahan terletak pada produksi rendah, lahan kurang, atau risiko pembiayaan bank. Kelaikan usaha pertanian petani yang bersangkutan serta kemampuan bank menilai risiko juga menjadi fokus BI. Misalnya, kondisi alam yang kurang mendukung, seperti musim kemarau panjang menyebabkan risiko kredit hortikultura menjadi besar.

BI dan perbankan, kata Perry, akan terus mengaji jika terjadi kendala dalam produksinya. Hal ini yang mungkin menyebabkan petani menjadi kurang bankable. Perbankan sebetulnya tak perlu takut akan risiko kredit bermasalah dari sektor ini. Sebab, ada asuransi kredit untuk pertanian. "Mungkin saja pengaturan kami terhadap prudential perbankan terlalu ketat untuk kredit pertanian. Ini semua kami akan kaji," ujar Perry.

Perry menilai salah satu solusi yang memungkinkan untuk menghadapi persoalan yang satu ini adalah BI melakukan pendekatan bauran moneter dan makroprudensial. Sehingga semua solusi tetap mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Misalnya, dulu BI melakukan pendekatan suku bunga, sedangkan tahun depan saat perbankan pindah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka bauran ini akan memberi dukungan kuat etrhadap ekonomi yang bisa memberikan imbas positif terhadap alokasi kredit berbagai sektor tersebut.

Dalam paparan singkatnya di DPR, Perry juga mengemukakan enam agenda yang perlu menjadi fokus kebijakan BI ke depan. Fokus utama kebijakan moneter perlu diarahkan pada inflasi yang rendah dan stabilitas nilai tukar Rupiah. Ini perlu respon kebijakan suku bunga yang tepat, didukung oleh koordinasi dengan Pemerintah pusat dan daerah yang erat.

Keenam agenda yang diajukan Perry tersebut adalah kebijakan pengendalian inflasi dan suku bunga rendah. Kedua, stabilisasi nilai tukar Rupiah dan pendalaman pasar keuangan. Ketiga, penguatan kebijakan makroprudensial dan koordinasi dengan OJK. Keempat, pemberdayaan sektor riil, UMKM dan ekonomi daerah. Kelima, penguatan koordinasi dengan Pemerintah dan komunikasi kebijakan. Keenam, penguatan organisasi dan sumber daya manusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement