REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Investor mulai meninggalkan obligasi Amerika Serikat di tengah kekacauan pasar keuangan global. Biasanya, investor akan bergegas membeli surat utang negara US Treasury saat ada sedikit saja tanda-tanda kekacauan ekonomi dunia, tetapi sekarang mereka malah menjualnya.
Dilansir AP, Sabtu (12/5/2025), bahkan iming-iming pembayaran bunga yang lebih tinggi pada obligasi tersebut tidak membuat investor tertarik untuk membeli. Perkembangan aneh ini membuat para ahli khawatir, bahwa bank-bank besar, dana investasi, dan pedagang kehilangan kepercayaan pada Amerika sebagai tempat yang stabil, dapat diprediksi, dan baik untuk menyimpan uang mereka.
"Kekhawatiran utamanya adalah AS kehilangan statusnya sebagai tempat berlindung yang aman," kata George Cipolloni, seorang manajer investasi di Penn Mutual Asset Management.
"Pasar obligasi kita adalah yang terbesar dan paling stabil di dunia, tetapi ketika Anda menambahkan ketidakstabilan, hal-hal buruk bisa terjadi."
Itu bisa menjadi berita buruk bagi para pembayar pajak yang membayar bunga atas utang AS yang membengkak, dan konsumen yang mengambil hipotek atau kredit.
"Saat imbal hasil bergerak lebih tinggi, Anda akan melihat suku bunga pinjaman Anda juga bergerak lebih tinggi," kata Brian Rehling, kepala strategi pendapatan tetap di Wells Fargo Investment Institute.
Setiap perusahaan menggunakan pasar pendanaan ini. Jika biayanya menjadi lebih mahal, mereka harus meneruskan biaya tersebut kepada pelanggan atau memotong biaya dengan mengurangi pekerjaan.
Apa yang terjadi?
Seminggu yang lalu, imbal hasil (yield) obligasi Treasury AS tenor 10 tahun berada di angka 4,01 persen. Pada hari Jumat (11/4/2025), imbal hasil melonjak setinggi 4,58 persen sebelum turun kembali ke sekitar 4,50 persen. Itu adalah perubahan besar bagi pasar obligasi, yang mengukur pergerakan dalam perseratus poin persentase.
Tentu saja, tidak ada yang bisa mengatakan dengan pasti kombinasi faktor apa yang berada di balik gejolak obligasi yang sedang berkembang atau berapa lama itu akan berlangsung, tetapi hal itu tetap mengguncang Wall Street.
Obligasi seharusnya bergerak berlawanan arah dengan saham. Obligasi AS naik ketika saham turun. Dengan cara ini, mereka bertindak seperti peredam kejut untuk dana pensiun dan portofolio lainnya saat pasar saham anjlok, sedikit mengkompensasi kerugian.
"Ini adalah dasar-dasar ekonomi, (tapi) aksi jual obligasi saat ini membuat orang bingung," kata Jack McIntyre, manajer portofolio di Brandywine Global.
Pemicu terbaru kenaikan imbal hasil obligasi adalah data sentimen konsumen AS pada hari Jumat yang lebih buruk dari perkiraan, termasuk ekspektasi inflasi yang jauh lebih tinggi di masa depan. Tetapi lonjakan imbal hasil obligasi yang tidak biasa minggu ini juga mencerminkan kekhawatiran yang lebih dalam karena ancaman tarif dan langkah kebijakan Presiden AS, Donald Trump.
Lihat postingan ini di Instagram