REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengapresiasi pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia hingga kuartal III 2012. Di tengah perlambatan kinerja perekonomian global, perekonomian Indonesia mampu tumbuh 6,29 persen.
Inflasi berada di angka moderat yakni 4,32 persen per November 2012. Meskipun demikian, hasil kajian INDEF menunjukkan capaian tersebut dibangun di atas pijakan fondasi yang rapuh, salah satunya jika ditilik dari sisi kesejahteraan.
Penduduk miskin tercatat hanya berkurang dari 0,89 juta jiwa dari 30,02 juta jiwa menjadi 29,13 juta jiwa. Bahkan, ketimpangan pendapatan (gini ratio) mengalami peningkatan dari 0,31 pada 1998 menjadi 0,41 pada 2012.
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Armida Salsiah Alisjahbana membenarkan adanya peningkatan gini ratio tersebut. Meskipun demikian, Armida mengklaim ada peningkatan pendapatan di seluruh kelompok masyarakat, mulai dari yang termiskin hingga yang terkaya.
"Tapi beda kecepatan," ujar Armida saat berbicara dalam sarasehan nasional bertajuk 'Menyusun Ulang Pembangunan Ekonomi Indonesia 2014' di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (12/12).
Untuk menurunkan gini ratio, Armida menilai perlu ada intervensi dari sisi kebijakan, khususnya kebijakan fiskal dari sisi perpajakan. "Perpajakan harus lebih progresif," ujar Armida.
Direktur Eksekutif INDEF Ahmad Erani Yustika mengatakan gini ratio dapat diatasi apabila kebijakan pembangunan ekonomi yang dipilih sejak awal telah memastikan keterlibatan pelaku ekonomi. Jika ini bisa dilakukan, maka bukan hanya pemerataan pendapatan yang diperoleh.
"Tapi ekonomi juga akan bergerak lebih cepat," tutur Ahmad.
Ahmad menilai, gini ratio akan terus meningkat apabila kondisinya masih sama seperti saat ini. "Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan radikal terutama dari kebijakan," ungkap Guru Besar Universitas Brawijaya ini.
Mantan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Ginandjar Kartasasmita mengatakan gini ratio terjadi karena ada perbedaan kemampuan dalam memanfaatkan pertumbuhan ekonomi yang terus tumbuh. Kelompok masyarakat yang bisa memanfaatkan pertumbuhan ekonomi ini jelas menghadirkan kesenjangan dengan kelompok yang tidak mampu.
Senada dengan Armida, Ginandjar menilai perlu ada kebijakan fiskal yang radikal untuk mengatasi masalah ini, salah satunya adalah pengenaan pajak progresif kepada masyarakat yang berpenghasilan tinggi. "Untuk penghasilan tertentu harus lebih tinggi," ujar Ginandjar.