REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Praktik pengoplosan beras kualitas rendah menjadi beras subsidi SPHP dan premium kembali terungkap. Pelaku harus ditindak tegas agar menimbulkan efek jera.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menegaskan bahwa tindakan pengoplosan yang baru saja terungkap di Riau bukan sekadar penyelewengan, melainkan bentuk pemalsuan yang harus ditindak tegas.
“Pengetatan penyaluran tahun ini sebagai bagian menekan penyelewengan. Kalau ada yang nekad ‘ngoplos’ mesti ditindak,” kata Khudori, Ahad (27/7/2025).
Khudori menjelaskan, pengoplosan beras kualitas rendah ke dalam kemasan SPHP adalah bentuk penipuan publik yang merusak kepercayaan terhadap program pangan bersubsidi pemerintah. Ia menekankan pentingnya pengawasan distribusi karena beras SPHP ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
“Itu karungnya pakai karung SPHP. Lalu diisi beras lain. Itu bukan beras SPHP yg diselewengkan. Dia (terduga pelaku) memanfaatkan antusiasme warga beli beras SPHP dengan mengisi kemasan SPHP dengan beras lain lalu dijual seolah-olah beras SPHP,” kata Khudori.
Kasus tersebut terungkap setelah Polda Riau menggerebek lokasi penyimpanan dan pengepakan beras di Pekanbaru pada Kamis (24/7). Tersangka R (34) dituduh menggunakan dua modus, yakni mencampur beras medium dengan beras reject untuk dikemas ulang menjadi SPHP, serta membeli beras murah dari Pelalawan dan mengemas ulang dalam karung merek premium.
Barang bukti yang disita antara lain 79 karung beras SPHP oplosan, empat karung beras bermerek premium berisi beras rendah mutu, 18 karung kosong SPHP, serta alat produksi seperti timbangan digital, mesin jahit, dan benang.
Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan menyebut kasus ini merupakan tindak lanjut dari arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menindak kejahatan yang merugikan konsumen.
“Negara sudah memberikan subsidi, tapi dimanipulasi oknum untuk keuntungan pribadi. Ini bukan sekadar penipuan dagang, tapi kejahatan yang merugikan anak-anak kita yang membutuhkan pangan bergizi,” kata Irjen Herry.
Tersangka dijerat dengan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf e dan f, serta Pasal 9 ayat (1) huruf d dan h UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman pidana maksimal lima tahun dan denda hingga Rp2 miliar.