REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam sembilan agenda ekonomi khusus nasional, lima di antaranya terkait bidang kehutanan. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sempat waswas menakar keberhasilan kelima agenda tersebut. Apalagi, hingga Agustus 2011, serapan anggaran Kementerian Kehutanan masih terbilang rendah untuk realisasi program, yaitu baru 42,28 persen.
Dalam agenda nasional pertama, yaitu peningkatan daya listrik 10 ribu MW hingga 2015, Kemenhut terlibat dalam tiga hal. Penyediaan 15 unit kerjasama geotermal di Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku tahun ini, dan 13 unit hingga 2014. Lalu, penyediaan listrik mikrohidro 1.900 MWE, yang baru berizin enam unit pada areal seluas 78 hektare (ha).
Berikutnya penyediaan lahan pinjam pakai untuk bendungan dan jaringan listrik sebanyak dua unit selama 2011 pada areal seluas 24,16 ha. “Listrik ini kebutuhan utama masyarakat kita, kita akan permudah perizinannya,” ungkapnya di aula Kemenhut saat membuka rapat koordinasi nasional pengembangan kehutanan nasional, Selasa (4/10) malam.
Agenda nasional kedua, Kemenhut berperan dalam peningkatan surplus beras sepuluh juta ton. Dalam hal ini, tambah Menhut, kementerian menyediakan lahan 200 ribu ha di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur untuk tanaman pangan.
Peningkatan lapangan pekerjaan dengan sasaran jumlah pengangguran di bawah enam persen menjadi agenda nasional ketiga. Dari sektor kehutanan, dilakukan melalui pembangunan hutan tanaman rakyat (HTR), hutan tanaman industri (HTI), dan hutan kemasyarakatan (HKm).
Berikutnya hutan desa, kebun bibit rakyat (KBR), hutan rakyat, dan industri kayu kemitraan. Kegiatan tersebut menunjang peningkatan pendapatan perkapita nasional hingga Rp 15 ribu perkapita pertahun.
Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan agenda ketiga. Ada 108 kawasan daerah aliran sungai (DAS) yang menjadi prioritas, serta penghijauan lingkungan seluas 360 ribu ha. Tak ketinggalan, pembangunan hutan kota mencapai empat ribu ha hingga 2014.
Lambatnya realisasi program-program nasional, kata Zulkifli juga sebagai akibat regulasi dan aturan Kemenhut yang memberatkan. “Oleh karenanya kita perlu menyesuaikan peraturan-peraturan terkait dan mengoperasionalkannya segera,” tambahnya.
Aturan-aturan tersebut di antaranya yang melibatkan 20 persen masyarakat dalam kepemilikan/ pembangunan perkebunan dan hutan tanaman industri. Dalam hal ini, Menhut mengakui terkadang terdapat kesalahan dalam penentuan kawasan hutan.
Beberapa area terlanjur ditetapkan sebagai kawasan hutan, padahal di dalamnya terdapat area masyarakat. Menhut mencontohkan beberapa kasus konflik tenurial di Jambi, Sumatera Utara, dan Lebak (Banten). “Konflik desa di sekitar dan dalam kawasan hutan harus diselesaikan,” katanya.