Selasa 08 Mar 2011 16:58 WIB

Soal BI Rate, BI Diminta tak Terprovokasi Asing

Rep: Fitria Andayani/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bank Indonesia seharusnya tidak perlu terprovokasi pihak asing untuk menaikkan suku bunga acuan (BI Rate). Karena kondisi ekonomi Indonesia dianggap sedang cukup baik dan tidak ada cukup alasan untuk menaikkan BI Rate. Ekonom Danareksa, Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan, saat ini Bank Indonesia tengah ditekan pihak asing untuk menaikkan BI Rate.

"Investor asing banyak menyimpan uang dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), otomatis bila BI Rate tidak naik, maka keuntungan bunga yang mereka peroleh tidak seberapa," ujarnya, Selasa (8/3). Sementara tingkat inflasi semakin tinggi.

Meskipun, menurutnya, inflasi yang dialami Indonesia saat ini tidak perlu disikapi dengan sebuah kebijakan moneter, seperti menaikkan BI Rate. Inflasi yang diderita Indonesia saat ini hanya disebabkan oleh naiknya harga pangan. "Kondisi ini harusnya dengan mudah dibereskan oleh pemerintah dengan meningkatkan stok," ujarnya.

Entah itu dengan cara berharap dari panen raya, ataupun melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Selain itu lanjutnya, inflasi juga disebabkan oleh naiknya harga minyak dunia. "Kondisi ini baru sekarang saja muncul. Harusnya tidak perlu dikhawatirkan, karena masih banyak instrumen yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah ini," tuturnya.

Lagipula, lanjutnya, kenaikan harga minyak dunia saat ini hanya menimbulkan defisit keuangan negara sebesar 0,2 – 0,7 persen. "Kekurangan ini masih bisa ditutup dengan kas negara yang jumlahnya cukup banyak," tuturnya.  

Sementara kenaikan inflasi inti menurut Purbaya, tidak perlu direspon dengan berlebihan. "Inflasi ini masih berada di bawah 5 persen, masih wajar," ujarnya. Lagipula sebenarnya yang menjadi acuan BI selama ini bukanlah inflasi inti namun headline inflasi yang selama ini dikenal luas.

Makanya, menurutnya, keputusan BI untuk menahan BI Rate di angka 6,75 persen sudah tepat. "BI sudah cukup pintar ketimbang masa krisis 2008 lalu," ujarnya. Sehingga, Purbaya memprediksi dalam 2 bulan mendatang tidak akan terjadi kenaikan BI Rate. "BI Rate tidak mungkin diturunkan lagi. BI sebelumnya sudah kepalang tanggung menaikkannya 25 bps, tidak bisa mundur lagi," ujarnya.

Meskipun, demikian dia berpendapat, BI Rate akan naik lagi. Terutama bila kebijakan pemerintah terhadap BBM direspon negatif oleh masyarakat, terjadi paceklik, atau ada kebijakan pemerintah lainnya yang dianggap ngawur. "Saat itu inflasi akan bergerak naik dan BI terpaksa harus menaikkan BI Rate," ujarnya.

Menurutnya, bila inflasi naik sekitar 7 persen, maka BI kemungkinan bisa menaikkan BI Rate hingga 7,5 persen. "Persis seperti skenario yang diminta oleh pihak asing," tuturnya. Meskipun inflasi naik signifikan, menurut Purbaya, BI Rate tetap tidak harus naik. Kenyataannya, tidak banyak kebijakan moneter yang akhirnya benar-benar pro terhadap masyarakat kecil. "Oleh karena itu tetap harus selesaikan dengan kebijakan non moneter dulu," ujarnya.

Sementara itu, sejumlah lembaga keuangan asing kecewa dengan keputusan Bank Indonesia untuk tidak menaikkan BI Rate. Ekonom bank asal Skotlandia RBS, Lim Su Sian menyatakan, dalam tiga bulan ke depan BI seharusnya meningkatkan suku bunga hingga 75 basis poin. "Ini diperlukan untuk menghadapi kenaikan harga dan menjaga kekuatan rupiah," dalihnya.

Meskipun menurutnya, kondisi ekonomi Indonesia sangat positif belakangan ini. Kekewaan yang sama juga diungkapakan oleh Ekonom bank asal Hongkong, HSBC untuk Indonesia dan Malaysia Wellian Wiranto. "BI harus mewaspadai kenaikan ekspektasi inflasi dan inflasi inti," ujarnya.

Ekspektasi inflasi naik 3 persen dari 2 persen di bulan sebelumnya. "18 bulan berada pada rekor suku bunga acuan rendah. Lalu naik 25 bps kemudian jeda. Sangat mengecewakan," ujarnya.

Menurutnya, akan lebih baik BI menaikkan BI Rate secara drastis ketimbang menunggu dan membuat jeda. "Ini terkait dengan kredibilitas mereka di kemudian hari," tuturnya. Bank Indonesia malah akan dianggap tidak serius menghadapi ancaman inflasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement