REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-–Pejabat sementara (pjs) Gubernur Bank Indonesia (BI), Darmin Nasution, menilai perlunya pengkajian ulang terhadap draf RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini menyikapi rencana Kementerian Keuangan Inggris untuk membubarkan Financial Services Authority (FSA) alias OJK mereka dan mengembalikan pengawasan perbankan ke bank sentral.
Meski begitu, BI tidak pernah menolak OJK yang diamanatkan pasal 34 UU BI. "Kita harus berani untuk melihat bagaimana konstruksi yag terbaik bagi Indonesia,’’ kata Darmin, Jumat (18/6) di Jakarta. Sebagaimana penjelasan Menteri Keuangan Inggris, kata Darmin, keputusan pembubaran FSA merupakan hasil dari mempelajari kelemahan dan kelebihan otoritas tersebut pada waktu mengalami krisis global.
Dengan perkembangan terakhir di Inggris ini, tutur Darmin, BI berpendapat seharusnya ada upaya pengkajian ulang atas konsep OJK yang draf RUU-nya kini tengah diharmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM. ‘Pertanyaan itu jangan diajukan ke BI karena yang mengambil inisiatif kan pemerintah. Biarlah itu ditanyakan kepada pemerintah saja,’’ ujar dia.
Darmin menegaskan bahwa BI tidak pernah mengatakan tidak menyetujui OJK yang diamanatkan pasal 34 UU BI. Ia minta tak ada pendapat pragmatis, bahwa OJK harus ada,’’ ujar dia.
Bagaimanapun, pada akhirnya ketika bank bermasalah, tambah Darmin, mereka akan datang ke BI. Ini karena BI adalah lender of the land resort, alias penyelamat terakhir kebutuhan likuiditas perbankan.
Karenanya, kata Darmin, yang diharapkan BI adalah jangan sampai pengawasan perbankan sama sekali dilepaskan dari BI. Darmin menolak menjelaskan secara rinci bagaimana konstruksi ideal OJK menurut BI dalam kesempatan tersebut.
Darmin menjelaskan bahwa konsep yang dirujuk FSA adalah model OJK yang lebih dekat dengan yang dikembangkan di Prancis. Model tersebut sedikit berbeda dengan OJK ala Jepang. OJK di Jepang adalah institusi yang berbeda dengan bank sentral tetapi membuka akses seluas-luasnya bagi bank sentral untuk mengumpulkan data dan melakukan pengawasan.