REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Produsen otomotif Jepang seperti Toyota, Honda, Nissan, dan Suzuki mulai mengubah arah strategi kendaraan listrik (EV). Mereka kini mengandalkan mobil mini atau kei car untuk mempercepat adopsi EV sekaligus menantang dominasi China di pasar global.
“Eksperimen kei car telah teruji oleh waktu, mampu bertahan lebih dari 70 tahun dan akhirnya membentuk industri otomotif Jepang seperti yang kita lihat sekarang,” kata seorang eksekutif senior dari salah satu produsen mobil Jepang kepada The Indian Express, Jumat (1/11/2025) lalu.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Langkah ini menandai upaya Jepang meninggalkan pandangan lama mobil listrik harus besar dan bertenaga tinggi. Dengan fokus pada kei car, biaya produksi menjadi lebih efisien dan harga jual bisa bersaing dengan mobil bensin.
Salah satu contohnya datang dari perusahaan rintisan KG Motors asal Hiroshima. Mereka mengembangkan mobil listrik satu penumpang yang bentuknya menyerupai kereta golf, namun sudah terjual lebih dari separuh dari 3.000 unit yang akan dikirim pada 2027.
Keberhasilan KG Motors menarik perhatian pabrikan besar yang melihat potensi pasar kei car di Jepang. Mobil kecil ini disukai karena hemat bahan bakar, mudah diparkir, serta mendapatkan keringanan pajak dan asuransi.
Data industri menunjukkan, kei car menyumbang lebih dari sepertiga penjualan kendaraan baru di Jepang hingga Maret 2025. Desainnya yang kotak dianggap sebagai cerminan efisiensi ruang dan kreativitas khas pabrikan Jepang.
Suzuki, yang dikenal sebagai spesialis kei car, menampilkan konsep mobil listrik Vision e-Sky pada Japan Mobility Show 2025. Mereka juga berkolaborasi dengan Toyota untuk membuat van listrik kecil bagi pasar domestik.
Honda pun meluncurkan N-ONE e, mobil listrik mungil bergaya retro, sementara Toyota menghadirkan versi mini lewat merek Daihatsu. Mazda dan Subaru juga ikut dalam tren serupa.
Berbeda dengan pasar Amerika dan Eropa yang lebih menyukai EV besar dengan jarak tempuh panjang, Jepang justru memilih arah sebaliknya. Mobil kecil dianggap lebih praktis, cepat diisi dayanya, dan biayanya jauh lebih terjangkau.
Pendekatan ini mirip dengan strategi China lewat Wuling Hongguang Mini EV, yang sempat menjadi mobil listrik terlaris di negara tersebut. Model murah dan ringkas itu bahkan mampu menggeser minat konsumen dari mobil konvensional.
Meski begitu, pangsa pasar kendaraan listrik murni di Jepang masih di bawah dua persen dari total mobil penumpang terdaftar. Pemerintah kini menambah insentif dan mempercepat pembangunan stasiun pengisian daya untuk memperluas adopsi EV.
Sebagian besar warga Jepang belum menggunakan EV sebagai mobil utama karena keterbatasan jarak tempuh. Hanya sepertiga rumah tangga yang memiliki lebih dari satu mobil, membuat efisiensi dan ketersediaan pengisian daya menjadi faktor penting.
Posisi Jepang tertekan
Sementara itu, posisi Jepang di industri otomotif dunia mulai tertekan akibat lambatnya adaptasi terhadap teknologi listrik. Rencana merger antara Honda dan Nissan untuk memperkuat modal dan riset pun gagal terwujud.
Nissan, yang dulu dikenal lewat mobil listrik Leaf, kini kehilangan keunggulan. Namun, Toyota dan Honda tetap unggul dalam pengembangan teknologi hibrida dan hidrogen yang masih mereka yakini memiliki masa depan cerah.
Dua hal menjadi harapan baru bagi Jepang. Pertama, investasi besar Toyota dan Nissan dalam pengembangan baterai solid-state yang lebih cepat diisi dan tahan lama. Kedua, dorongan terhadap kei car listrik yang bisa menjadi model sukses di Asia.
Jika eksperimen kei car listrik Jepang berhasil, negara itu berpeluang kembali menjadi pelopor inovasi otomotif di kawasan. Jepang ingin membuktikan, mobil kecil bukan berarti lemah, justru bisa menjadi kunci masa depan kendaraan listrik yang terjangkau.