Kamis 25 Sep 2025 13:43 WIB

Kemenperin Bantah Pertek Jadi Biang PHK Massal di Industri Tekstil

Impor terbesar disebut tak melalui jalur pertek, bantahan Kemenperin soal isu PHK.

Rep: Frederikus Dominggus Bata / Red: Gita Amanda
Kemenperin menegaskan tudingan lemahnya tata niaga impor tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak sepenuhnya tepat. (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Abdan Syakura
Kemenperin menegaskan tudingan lemahnya tata niaga impor tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak sepenuhnya tepat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menegaskan tudingan lemahnya tata niaga impor tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak sepenuhnya tepat. Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendr Antoni Arief, menyampaikan impor terbesar justru tidak melalui jalur pertimbangan teknis (pertek) yang diterbitkan pihaknya.

Febri sekaligus menepis opini sejumlah pihak yang mengaitkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dengan kebijakan kementeriannya. Menurut dia, opini tersebut salah kaprah dalam membaca data dan peran Kemenperin dalam rantai tata niaga TPT.

Baca Juga

“Instrumen yang dimiliki Kemenperin hanya sebagian dari ekosistem importasi tekstil. Impor terbesar justru bukan dari alokasi pertek,” kata Febri di Jakarta, Kamis (25/9/2025).

Ia menerangkan, pengaturan impor saat ini lebih ketat dibanding periode sebelumnya. Dari total 1.332 pos tarif HS TPT, sebanyak 941 HS atau 70,65 persen masuk kategori larangan terbatas (lartas) yang wajib perizinan impor (PI) dan pertek sesuai Permendag 17/2025. Laporan Surveyor (LS) berlaku untuk 980 HS atau 73,57 persen. Pada aturan 2024, jumlah HS yang masuk pertek hanya 593 atau 44,51 persen.

Febri menilai tudingan PHK massal akibat lemahnya tata niaga pertek tidak memiliki dasar kuat. Ia menekankan banjir produk impor lebih banyak terjadi karena barang masuk melalui jalur di luar kewenangan Kemenperin, seperti kawasan berikat, impor borongan, hingga barang ilegal tanpa lartas.

“Di ruang demokrasi boleh berpendapat, tapi harus dengan data objektif agar tidak menimbulkan sesat pikir,” ujarnya.

Kemenperin membuka ruang partisipasi publik dalam pengawasan. Febri meminta masyarakat menyampaikan informasi atau bukti jika menemukan indikasi kecurangan dalam penerbitan pertek impor TPT.

“Kalau ada bukti, laporkan ke Kemenperin agar bisa kami tindak. Kami ingin sistem ini transparan,” kata dia.

Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita, jelas Febri, berulang kali menegaskan komitmen untuk membersihkan internal dari praktik curang. Kemenperin pernah menyelidiki dugaan korupsi di internal dan melaporkannya ke penegak hukum.

“Kami sudah memperbaiki sistem sekaligus melakukan pembersihan internal agar kasus serupa tidak terulang,” tuturnya.

Menurut keterangan resmi Kemenperin, perjalanan regulasi impor TPT mengalami beberapa perubahan. Sejak 2017 hingga 2022, mekanisme alokasi impor dilakukan lewat Rakortas di Kemenko Perekonomian. Lalu, melalui Permenperin 36/2022, mekanisme bergeser ke verifikasi kemampuan industri (VKI). Pada 2023, sistem VKI justru menyetujui volume impor benang yang lebih besar dari data BPS. Situasi ini diperbaiki melalui Permenperin 5/2024, yang mengembalikan mekanisme pertek dengan masa berlaku tahunan.

Selektivitas pengaturan impor meningkat. Pada 2024, pertek menyetujui 19,3 persen serat dan 43,7 persen benang dari total impor BPS, menunjukkan pengetatan dibanding sistem VKI tahun sebelumnya. “Sejak Agustus 2025, pendaftaran pertek pakaian jadi juga resmi berada di Kemenperin. Artinya, seluruh rantai TPT dari hulu hingga hilir kini berada dalam pengaturan yang jelas,” ujar Febri.

Pertumbuhan industri tekstil ikut menunjukkan perbaikan. Produk Domestik Bruto (PDB) sektor ini pada kuartal I dan II 2025 tercatat tumbuh di atas 4 persen. “Evaluasi kebijakan bertahap yang dilakukan pemerintah terbukti memperkuat daya tahan industri di tengah tekanan impor dan faktor makroekonomi,” kata Febri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement