Rabu 20 Aug 2025 10:20 WIB

Industri Oleokimia Sebut Pembatasan Pasokan Gas HGBT Bisa Hambat Produksi

Kalangan pengusaha menilai kondisi tersebut dapat mengganggu keberlangsungan bisnis.

Rep: Frederikus Dominggus Bata/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi pabrik.
Foto: AP/Martin Meissner
Ilustrasi pabrik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) menyampaikan kekhawatiran terkait isu penurunan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dari produsen gas. Kalangan pengusaha menilai kondisi tersebut dapat mengganggu keberlangsungan bisnis dan mengancam lapangan kerja di sektor industri.

Ketua Umum Apolin Norman Wibowo menegaskan gas bumi bagi industri oleokimia tidak hanya berfungsi sebagai sumber energi, tetapi juga bahan penolong penting untuk produksi gas hidrogen yang tidak bisa digantikan.

Baca Juga

"Ini sangat memberatkan. Jika pasokan gas seret, maka produksi kita juga terhambat. Imbasnya nanti justru ke bisnis secara keseluruhan," ujar Norman di Jakarta, Rabu (20/8/2025).

Norman memaparkan kebutuhan gas industri dalam negeri mencapai 2.700 MMSCFD. Namun, pasokan HGBT yang tersedia hanya 1.600 MMSCFD, dengan porsi terbesar yakni 900 MMSCFD lebih dari separuh dialokasikan kepada BUMN seperti PLN dan Pupuk Indonesia. Sisanya baru disalurkan ke perusahaan swasta.

“Sudah porsi pasokan gas sangat kecil, ke depan juga ada pembatasan. Bisnis makin suram,” ucapnya.

Norman menambahkan, jika kondisi ini terus berlangsung, langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak bisa dihindari. Saat ini tercatat 12.288 pekerja menggantungkan hidupnya pada industri oleokimia.

Apolin mendesak pemerintah konsisten menjalankan regulasi sesuai Kepmen 76.K/MG.01/MEM.M/2025. Norman menilai konsistensi pelaksanaan aturan akan menopang program hilirisasi serta ketahanan industri nasional.

Menanggapi keresahan pelaku industri, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) membentuk Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT. Fasilitas ini menjadi sarana pelaporan dan penanganan keluhan dari pelaku industri terkait gangguan pasokan gas.

Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, langkah ini diambil setelah muncul surat dari produsen gas yang menyebutkan adanya pembatasan pasokan hingga 48 persen bagi industri penerima HGBT.

“Menurut kami, hal ini janggal karena pasokan gas untuk harga normal, di atas 15 dolar AS per MMBTU, stabil. Tapi mengapa pasokan HGBT dengan harga 6,5 dolar AS per MMBTU dibatasi? Itu artinya tidak ada masalah produksi dan pasokan gas dari hulu,” ujar Febri.

Ia menambahkan, jangan sampai narasi pembatasan pasokan ini menjadi cara untuk mendorong kenaikan harga gas industri. “Kami tidak ingin hal ini terulang kembali seperti pada industri TPT dan alas kaki, yang akhirnya harus menurunkan utilisasi, menutup pabrik, hingga mengurangi tenaga kerja,” tegas Febri.

Kemenperin menilai keberadaan Pusat Krisis akan memberikan rasa aman sekaligus menjaga iklim investasi di sektor manufaktur. Tercatat ada tujuh subsektor penerima manfaat HGBT: industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Febri merinci, Pusat Krisis memiliki tiga fungsi utama: menerima pengaduan secara terstruktur, menjadikannya bahan kebijakan, dan memastikan akuntabilitas publik atas kinerja Kemenperin.

Sejumlah pelaku industri mulai menyampaikan laporan terkait pasokan yang berkurang, tekanan gas yang tidak stabil, hingga harga gas yang lebih tinggi dari ketentuan Perpres Nomor 121 Tahun 2020. Beberapa perusahaan bahkan terpaksa melakukan rekayasa operasional agar produksi tetap berjalan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement