REPUBLIKA.CO.ID, LEBAK -- Di sebuah desa di Kecamatan Warunggunung, Kabupaten Lebak, aroma gurih emping melinjo yang baru saja dijemur bercampur angin sore menjadi tanda roda ekonomi desa ini terus berputar. Bagi Eros (55 tahun), pelaku UMKM emping melinjo “Eka Putri”, usaha yang ia rintis sejak 1997 bukan sekadar bisnis, ini adalah jalan keluar dari kemiskinan bagi banyak warga di sekitarnya.
“Dari petani melinjo, pemanjat pohon, penampung, hingga tukang ojek, semua ikut merasakan manfaatnya,” kata Eros sambil menepuk-nepuk emping yang baru dipipihkan. Di Warunggunung, hampir setiap rumah terlibat dalam produksi emping. Tidak berlebihan jika Eros mengatakan usaha ini memutus mata rantai kemiskinan di daerahnya.
Bahan baku melinjo yang melimpah, membuat sekitar 50 unit usaha di Warunggunung mampu memproduksi hingga 2–3 ton emping per bulan. Prosesnya masih tradisional, menjaga cita rasa gurih, renyah, dan beraroma khas yang tak bisa ditiru pabrik.

Pasarnya pun meluas. Selain dipasok ke Banten, Jakarta, dan Bandung, emping Warunggunung sudah merambah Arab Saudi, Malaysia, hingga Jepang. Harganya berkisar Rp85.000 per kilogram untuk emping original, sementara kaceprek aneka rasa seperti pedas, manis, hingga original mencapai Rp120.000 per kilogram.
Eros mempekerjakan 15 orang di unit usahanya. “Kalau dihitung, perputaran uang dari emping di sini bisa miliaran rupiah setahun,” kata Eros dengan bangga.