REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) memandang fenomena “rojali” atau rombongan jarang beli belum tentu mencerminkan kondisi kemiskinan. Meski demikian, fenomena ini tetap penting dicermati, apakah hanya gejala sosial atau disebabkan tekanan ekonomi.
Belakangan ini, fenomena “rojali” ramai diperbincangkan. Istilah ini merujuk pada aktivitas masyarakat yang mengunjungi pusat perbelanjaan tanpa melakukan pembelian apa pun.
“Bisa jadi untuk refresh, atau ada tekanan ekonomi, terutama pada kelas yang rentan, sehingga mereka akan ‘rojali’ di mal dan lain sebagainya,” kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, di Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025, Ateng mencatat kelompok atas mulai menahan laju konsumsinya. Namun, perubahan ini tidak serta-merta berdampak pada angka kemiskinan karena hanya mencakup segmen tertentu.
Menurut dia, fenomena “rojali” bisa menjadi sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus pada penurunan kemiskinan ekstrem, tetapi juga pada perlindungan daya beli dan stabilitas ekonomi rumah tangga di kelas menengah bawah.
“Perlu diamati, apakah yang mengalami fenomena ‘rojali’ hanya pada kelas atas, menengah, rentan, atau bahkan kelompok miskin. Kami belum sampai survei ke arah ‘rojali’. Survei kami hanya berbasis sampel rumah tangga di Susenas,” ujar Ateng.
View this post on Instagram