Selasa 12 Aug 2025 14:40 WIB

CELIOS Kritik Kenaikan PPN di Tengah Daya Beli Lemah

Masyarakat miskin justru membayar pajak lebih besar dari orang super kaya.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Sejumlah pedagang menunggu pembeli di Pasar Baru Square, Jakarta. (ilustrasi). CELIOS mengkritik kenaikan kontribusi PPN di tengah melemahnya daya beli masyarakat.
Foto: Republika/Thoudy
Sejumlah pedagang menunggu pembeli di Pasar Baru Square, Jakarta. (ilustrasi). CELIOS mengkritik kenaikan kontribusi PPN di tengah melemahnya daya beli masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengkritik kenaikan kontribusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih, sementara pajak progresif untuk konglomerat dan orang super kaya terabaikan.

“Persoalannya adalah dengan daya beli masyarakat yang masih belum pulih hari ini, mendorong PPN untuk terus dinaikkan itu problematik, karena PPN sifatnya sangat regresif,” kata Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, dalam launching riset “Dengan Hormat Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak seperti Berburu di Kebun Binatang” yang diikuti secara daring, Selasa (12/8/2025).

Baca Juga

Berdasarkan studi CELIOS, kontribusi PPN pada penerimaan pajak 2024 mencapai Rp 819 triliun atau 36,7 persen dari total pajak. Porsi ini naik dari tahun sebelumnya, namun sebagian besar bersumber dari konsumsi masyarakat, termasuk kelompok berpendapatan rendah.

Menurut Media, masyarakat miskin justru membayar pajak lebih besar secara persentase pendapatan dibanding orang super kaya. “Masyarakat miskin itu menghabiskan bahkan 120 persen dari pendapatannya untuk belanja, 20 persennya datang dari utang. Sementara orang kaya tidak mungkin menghabiskan seluruh penghasilannya dalam satu waktu,” ujarnya.

Konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dinilai memperlemah permintaan domestik. CELIOS menyebut, sistem pajak yang tidak berkeadilan membuat belanja konsumsi melambat dan daya beli masyarakat menurun, sementara kebijakan PPN justru memperdalam beban kelompok berpendapatan rendah.

Studi CELIOS memaparkan potensi tambahan penerimaan negara hingga Rp 524 triliun per tahun dari penerapan pajak progresif yang dinilai lebih adil. Potensi ini dapat menjadi solusi untuk memperkuat keuangan negara sekaligus meningkatkan keadilan fiskal.

Tambahan penerimaan tersebut bersumber dari peninjauan ulang insentif pajak tak tepat sasaran sebesar Rp 137,4 triliun, pajak kekayaan Rp 81,6 triliun, pajak karbon Rp 76,4 triliun, pajak produksi batubara Rp 66,5 triliun, pajak windfall profit sektor ekstraktif Rp 50 triliun, pajak keanekaragaman hayati Rp 48,6 triliun, pajak digital Rp 29,5 triliun, kenaikan tarif pajak warisan Rp 20 triliun, pajak capital gain Rp 7 triliun, pajak kepemilikan rumah ketiga Rp 4,7 triliun, dan cukai minuman berpemanis Rp 3,9 triliun.

“Yang perlu disadari publik adalah kita tidak kekurangan uang, kita hanya kekurangan kemauan politik untuk memperbaiki sistem perpajakan kita,” tegas Media.

photo
Target kemiskinan ekstrem Indonesia di 2029. - (Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement