Jumat 25 Jul 2025 10:50 WIB

BPS Ungkap Tren Rojali Jadi Peringatan Dini Tekanan Konsumsi Masyarakat

Tak sekadar tren, Rojali bisa jadi tanda awal lemahnya daya beli kelas menengah.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Friska Yolandha
Pengunjung memadati area Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta saat gelaran Jakarta Fair 2025 di Jakarta, Sabtu (21/6/2025). Gelaran Jakarta Fair 2025 menjadi pilihan warga untuk mengisi waktu libur akhir pekan dengan menyajikan beragam wahana permainan anak, bazar diskon produk hingga panggung hiburan. Jakarta Fair 2025 kali ini mengusung tema Semangat Inovasi dan Karya Bangsa yang Berkelanjutan yang digelar dalam rangka perayaan HUT ke-498 Jakarta. Kegiatan tersebut berlangsung sekitar satu bulan dari 19 Juni hingga 13 Juli mendatang yang diharapkan mampu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional melalui produk lokal, inovasi, dan penguatan ekosistem usaha.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengunjung memadati area Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta saat gelaran Jakarta Fair 2025 di Jakarta, Sabtu (21/6/2025). Gelaran Jakarta Fair 2025 menjadi pilihan warga untuk mengisi waktu libur akhir pekan dengan menyajikan beragam wahana permainan anak, bazar diskon produk hingga panggung hiburan. Jakarta Fair 2025 kali ini mengusung tema Semangat Inovasi dan Karya Bangsa yang Berkelanjutan yang digelar dalam rangka perayaan HUT ke-498 Jakarta. Kegiatan tersebut berlangsung sekitar satu bulan dari 19 Juni hingga 13 Juli mendatang yang diharapkan mampu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional melalui produk lokal, inovasi, dan penguatan ekosistem usaha.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) menyoroti fenomena rombongan jarang beli atau Rojali yang akhir-akhir ini ramai diberitakan sebagai gejala menurunnya daya beli masyarakat di pusat perbelanjaan. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menilai fenomena tersebut menarik untuk dicermati sebagai refleksi dinamika sosial ekonomi yang lebih luas. 

"Rojali atau rombongan jarang beli akhir-akhir ini kan di berita media cukup diangka yang ke pusat pembelanjaan namun tidak membeli apa pun," ujar Ateng saat rilis BPS terkait Profil Kemiskinan di Indonesia Kondisi Maret 2025 dan Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia Kondisi Maret 2025 di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (25/7/2025).

Baca Juga

Meskipun Rojali menggambarkan adanya perubahan pola konsumsi, Ateng menekankan tidak semua perubahan ini berkaitan langsung dengan kemiskinan. Ateng menjelaskan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 menunjukkan adanya penurunan konsumsi di kalangan atas, tetapi tidak berdampak signifikan pada angka kemiskinan. 

"Nah, berdasarkan data Susenas 2025, kelompok atas memang agak menahan konsumsinya. Namun ini tentu tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena kan itu kelompok atas saja,” ucap dia.

Ateng menilai fenomena Rojali sebaiknya dilihat sebagai gejala sosial yang mencerminkan adanya tekanan ekonomi di kelompok masyarakat tertentu. Menurut Ateng, kelompok yang mengalami tekanan konsumsi tidak selalu masuk kategori miskin, tetapi bisa berasal dari kelas menengah ke bawah yang rentan secara ekonomi. 

"Fenomena Rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan. Tetapi tentunya ini relevan juga sebagai gejala sosial," sambung Ateng.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement