REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyoroti sejumlah faktor bertambahnya fenomena rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya) yang belakangan ini ramai diperbincangkan. Kedua istilah ini ditujukan bagi pengunjung pusat perbelanjaan secara beramai-ramai, tapi tidak melakukan transaksi pembelian atau berbelanja.
Faisal, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (25/7/2025), menilai faktor utama dari adanya rojali dan rohana adalah kondisi finansial masyarakat.
Beberapa di dalamnya meliputi uang yang semakin sulit untuk ditabung, lesunya daya beli, hingga pinjaman dana yang makin mudah untuk diakses tapi berat untuk diselesaikan tanggung jawabnya.
“Bisa kita lihat dari tingkat tabungan yang mengalami penurunan, tingkat penjualan sektor riil, penjualan barang ritel yang turun di triwulan kedua daripada triwulan satu, serta pinjaman yang meningkat terutama melalui fintech lending,” kata Faisal.
“Ini yang menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat sebetulnya terbatas dari sisi kemampuan finansial mereka,” ujarnya menambahkan.
Sependapat, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai, hal ini juga didorong oleh tren kenaikan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor industri, yang mempengaruhi konsumsi masyarakat.
“Memang saat ini daya beli masyarakat berkurang karena kenaikan jumlah PHK di sejumlah industri. Di sisi lain, ada kenaikan harga harga bahan pokok,” ujar Esther.
Baik Faisal maupun Esther sepakat bahwa diperlukan adanya intervensi pemerintah untuk mendongkrak daya beli melalui solusi yang berdampak luas dan berkelanjutan.
“Penciptaan lapangan pekerjaan dengan meningkatkan investasi yang bersifat padat karya. Kemudian melonggarkan dan mendorong wirausaha agar mereka yang terkena PHK bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,” kata Esther.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso pada Kamis (24/7) menyebut fenomena rojali di pusat perbelanjaan bukanlah hal baru.
Menurut dia, masyarakat bebas untuk menentukan pilihan untuk berbelanja secara daring ataupun luring, serta memberikan penilaian kualitas terlebih dahulu secara langsung sebelum membelinya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan fenomena ini akan berkurang apabila daya beli masyarakat kembali membaik melalui sejumlah kebijakan atau insentif pemerintah.