Rabu 23 Jul 2025 20:21 WIB

IESR: Industri Hijau Bisa Serap 1,7 Juta Tenaga Kerja hingga 2045

Harga energi yang terlalu murah tidak mendorong perubahan perilaku industri

70 persen produksi baja nasional masih menggunakan teknologi berbasis batu bara.
Foto: Istimewa
70 persen produksi baja nasional masih menggunakan teknologi berbasis batu bara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sektor industri Indonesia menghadapi tantangan serius dalam proses transisi menuju ekonomi rendah karbon. Di tengah meningkatnya kebutuhan energi, dominasi bahan bakar fosil seperti batu bara masih mendominasi. Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, percepatan menuju industri hijau membutuhkan kebijakan transformatif dan dukungan investasi yang kuat.

Program Manager Dekarbonisasi Industri IESR, Juniko Nur Pratama, menyampaikan bahwa konsumsi energi sektor industri meningkat sembilan persen pada 2023, seiring dengan naiknya emisi karbon sebesar lima persen. Menurutnya, kebijakan subsidi batu bara justru memperlambat laju transisi energi bersih.

“Harga energi yang terlalu murah tidak mendorong perubahan perilaku industri,” ujar Juniko dalam forum Media Luncheon IESR, Senin (22/7/2025).

Juniko menjelaskan bahwa transformasi industri tidak cukup hanya dengan elektrifikasi proses produksi. Ia menekankan pentingnya memastikan bahwa pasokan listrik berasal dari sumber energi terbarukan. Menurutnya, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) menjadi instrumen kunci yang menentukan seberapa cepat industri bisa mengakses listrik bersih.

“Elektrifikasi hanya akan efektif jika listriknya memang bersih,” tegasnya.

IESR memproyeksikan bahwa pengembangan industri hijau dapat membuka peluang kerja bagi 1,7 juta orang hingga 2045. Di sisi lain, kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional diperkirakan mencapai Rp 638 triliun pada tahun 2030.

“Investasi di sektor ini bukan hanya soal emisi, tapi juga potensi ekonomi baru yang besar,” ujar Juniko.

Namun demikian, ia mengakui bahwa belum semua sektor siap menghadapi perubahan ini. Adopsi teknologi hijau masih rendah, dan dukungan pembiayaan masih terbatas. Untuk itu, IESR mendorong pemerintah agar mempercepat penerapan insentif fiskal, skema pembiayaan inovatif, dan pelatihan tenaga kerja hijau.

Salah satu subsektor yang menjadi sorotan adalah industri besi dan baja. Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia, Harry Warganegara, menyatakan bahwa sekitar 70 persen produksi baja nasional masih menggunakan teknologi berbasis batu bara.

“Sebagian besar pabrik kita masih pakai tanur tinggi yang menghasilkan emisi besar,” katanya.

Harry menjelaskan bahwa teknologi rendah emisi seperti electric arc furnace (EAF) sudah tersedia, namun belum banyak digunakan karena keterbatasan infrastruktur dan biaya investasi yang besar. Ia mengungkapkan bahwa pelaku industri mulai menghadapi tekanan dari pasar internasional untuk mengadopsi praktik industri hijau.

“Beberapa negara tujuan ekspor sudah menerapkan pajak karbon. Mau tidak mau, industri kita harus berubah,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pelaku industri membutuhkan insentif konkret dari pemerintah, seperti pemotongan pajak dan dukungan pembiayaan. Menurutnya, banyak produsen mulai menjajaki pemanfaatan energi terbarukan dan teknologi penangkapan karbon, meskipun masih terbatas.

Pemerintah sendiri saat ini memprioritaskan sembilan subsektor dalam strategi dekarbonisasi nasional, yakni: baja, semen, pupuk, pulp dan kertas, kimia, tekstil, makanan dan minuman, kaca dan keramik, serta alat transportasi. Kesembilan subsektor ini dinilai sebagai penyumbang emisi tinggi, padat energi, dan memiliki potensi besar untuk bertransformasi menuju praktik industri berkelanjutan.

“Kalau ingin bersaing di pasar global, transformasi ini harus dimulai dari sekarang,” ujar Harry.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement