Selasa 22 Jul 2025 08:13 WIB

Kadin: RI Harus Tekan Biaya Produksi untuk Kalahkan Vietnam di Pasar Ekspor

Tarif turun tak cukup, efisiensi logistik dan energi jadi kunci daya saing.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Friska Yolandha
Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Novyan Bakrie.
Foto: Republika.co.id/Erik Purnama Putra
Ketua Umum Kadin Indonesia, Anindya Novyan Bakrie.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Bakrie menegaskan bahwa penurunan tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat menjadi 19 persen tidak otomatis membuat industri nasional unggul. Sebab, efisiensi biaya produksi nasional masih tertinggal dibanding negara pesaing seperti Vietnam.

"Vietnam adalah saingan utama kita. Mereka hanya unggul satu persen di atas kita. Artinya, biaya logistik, tenaga kerja, dan energi juga harus dibuat lebih kompetitif ke depannya," kata Anindya kepada wartawan di Jakarta, Senin (21/7/2025).

Baca Juga

Pemerintah Amerika Serikat melalui Presiden Donald Trump telah menurunkan tarif terhadap produk Indonesia dari sebelumnya 32 persen menjadi 19 persen. Kebijakan ini disambut positif oleh pelaku usaha karena diyakini membuka peluang ekspor yang lebih besar, terutama untuk sektor tekstil, garmen, alas kaki, elektronik, dan furnitur.

"19 persen itu akan berlaku ketika sudah didetailkan. Tapi paling tidak sejak 2 Agustus itu sudah bisa dianggap ada 10 persen sebagai base case-nya. Kalau saya lihat, ini sudah pasti efeknya positif," ujar Anindya.

Meski begitu, ia menilai peluang tersebut tidak akan optimal jika struktur biaya produksi di dalam negeri masih tinggi. Anindya menyebut salah satu kunci daya saing adalah penurunan beban logistik, energi, dan ketenagakerjaan.

"Kita juga mesti menggunakan kesempatan ini untuk deregulasi karena kita juga ingin mengurangi kos-kos di tempat lain," ujarnya.

Lebih lanjut, Anindya menyebutkan, banyak perusahaan asing mulai melirik Indonesia untuk relokasi industri. Terutama dari China, yang sedang menghadapi tekanan tarif tinggi dari AS. Namun, perusahaan-perusahaan itu hanya akan masuk jika biaya produksi di Indonesia cukup kompetitif.

"Apalagi saat ini banyak sekali perusahaan asing, terutama dari China, yang ingin relokasi ke Indonesia. Dan karena masih baru, tentu cost of production-nya akan tinggi," kata dia.

Ia menilai pemerintah perlu memastikan agar pelaku industri dalam negeri tidak terpinggirkan oleh masuknya investasi baru. Peluang harus dibarengi dengan keberpihakan terhadap industri lokal melalui insentif dan jaminan keberlanjutan.

"Kita mesti memastikan bahwa tarif kandungan dalam negerinya itu juga ada dan pengusaha-pengusaha yang existing tidak hilang di persaingan," tegas Anindya.

Untuk mendukung peningkatan produktivitas industri nasional, pemerintah telah menyiapkan paket kredit sebesar Rp20 triliun untuk modernisasi fasilitas produksi. Namun, pemanfaatannya disebut masih rendah.

"Pemerintah memiliki paket kredit Rp20 triliun yang sudah diluncurkan beberapa waktu lalu, tapi penggunaannya masih sangat kecil. Ini khusus untuk modernisasi fasilitas pabrik atau fasilitas produksi," ungkapnya.

Ia menekankan, tanpa modernisasi dan efisiensi biaya, Indonesia akan kesulitan merebut pasar ekspor dari negara pesaing, sekalipun tarif telah diturunkan.

"Kita ini sedang berlomba-lomba untuk investasi lebih, supaya bisa ekspor lebih, pelanggan kerja bisa tambah. Tapi untuk itu pabrik mesti produktif, karena itu mesti ada modernisasi," ujarnya.

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan kesepakatan dagang pada 15 Juli 2025. Tarif produk ekspor Indonesia ke AS ditetapkan hanya sebesar 19 persen. Sebagai bagian dari kesepakatan, Indonesia juga akan meningkatkan impor produk asal AS seperti kedelai, kapas, dan minyak mentah. Pemerintah menyatakan kebijakan tersebut tidak akan mengganggu stabilitas ekonomi domestik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement