REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tarif 19 persen untuk produk ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dinilai Apindo masih memberatkan industri padat karya, meski lebih rendah dari ancaman tarif sebelumnya. Sebaliknya, pembukaan pasar melalui kesepakatan IEU–CEPA dengan Uni Eropa dinilai lebih menguntungkan karena menawarkan perdagangan bebas tanpa hambatan tarif.
"Secara resmi, Presiden Trump menyampaikan bahwa tarif yang dikenakan terhadap produk Indonesia hanya sebesar 19 persen," ujar Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani dalam keterangan yang diterima Republika, Rabu (16/5/2025).
Sebagai trade-off, Indonesia akan menambah impor beberapa komoditas unggulan AS seperti kedelai, kapas, dan minyak mentah. Ajib menilai langkah ini berisiko mengganggu kinerja neraca dagang Indonesia yang selama ini surplus terhadap Amerika.
"Penurunan tarif Trump dan diversifikasi pasar di Uni Eropa menjadi angin segar untuk sektor-sektor padat karya ini," ujarnya.
Di saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga memastikan ratifikasi Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA) akan ditandatangani pada kuartal III 2025. Kesepakatan ini dianggap lebih prospektif.
"IEU–CEPA ini potensial mengarah menjadi hubungan dagang yang bersifat mutualistik dengan free trade agreement, sekaligus membuka pasar perdagangan dan potensi investasi masa depan," tegas Ajib.
Apindo mencatat ada empat sektor utama yang terkena dampak langsung dari kedua kebijakan tersebut, yaitu tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki dan furnitur, mainan anak dan barang rumah tangga, serta makanan, produk kulit, dan kerajinan. Keempat sektor ini sangat sensitif terhadap tarif karena bersaing ketat di pasar global dan bergantung pada ekspor.
Ajib menekankan, pemerintah harus segera memitigasi tiga risiko utama dari kesepakatan dagang ini. "Pertama, perlindungan pasar domestik, termasuk dengan penguatan trade remedies, anti dumping, safeguards, countervailing duties," ujarnya. Langkah ini penting untuk menghadapi potensi membanjirnya barang-barang substitusi dari China, Vietnam, dan negara BRICS.
Risiko kedua adalah lemahnya daya saing industri nasional akibat biaya logistik dan energi yang masih tinggi. "Terus mendorong reformasi struktural dan biaya berusaha. Low cost economy perlu terus didorong dengan regulatory streamlining sektor logistik dan energi, insentif fiskal seperti relaksasi PPN bahan baku, serta pembiayaan murah untuk sektor-sektor strategis," jelas Ajib.
Ketiga, pemerintah perlu memperkuat rantai pasok dalam negeri. "Pemerintah perlu mendorong substitusi impor dan penguatan sektor hulu nasional, termasuk untuk komoditas logam, kimia dan pertanian," lanjutnya.
Apindo melihat kesepakatan dengan AS dan Uni Eropa ini bukan hanya soal tarif, tapi bagian dari dinamika geopolitik global yang menuntut respons cermat dan terukur. "Kesepakatan tarif Trump dan IEU–CEPA ini menjadi arah baru ekonomi global Indonesia," kata Ajib.
Ia menegaskan pentingnya jalur negosiasi diplomatik dijaga dengan prinsip stabilitas, adaptabilitas, dan daya saing. Hal ini dinilai krusial agar industri nasional tetap tumbuh meski dunia menghadapi gelombang proteksionisme baru.
View this post on Instagram