Rabu 16 Jul 2025 13:32 WIB

BI-Rate Siap Turun Usai Kesepakatan Dagang RI-AS, Ekonom Ungkap Alasannya

Inflasi rendah dan stabilitas rupiah buka ruang pelonggaran moneter.

Ilustrasi suku bunga. Ekonom menilai Bank Indonesia siap menurunkan suku bunga.
Foto: dok Republika
Ilustrasi suku bunga. Ekonom menilai Bank Indonesia siap menurunkan suku bunga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyatakan bahwa sudah saatnya Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan atau BI-Rate. Ini terutama setelah tercapainya kesepakatan tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS).

Dengan inflasi pada Juni 2025 yang tercatat hanya sebesar 1,87 persen secara tahunan (year on year/yoy), serta penguatan nilai tukar rupiah, Fakhrul menilai ruang untuk penurunan suku bunga semakin terbuka lebar.

Baca Juga

Fakhrul memperkirakan bahwa BI akan menurunkan BI-Rate sebesar 25 basis poin dalam pengumuman kebijakan moneter hari ini.

“Setelah adanya kesepakatan perang dagang, sudah saatnya kebijakan moneter diarahkan lebih longgar,” ujar Fakhrul dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (16/7/2025).

Ia menambahkan, pemangkasan suku bunga diperlukan karena ada pergeseran fokus kebijakan menuju penguatan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, sejumlah negara tetangga seperti India dan Malaysia juga telah lebih dulu menurunkan suku bunga acuannya.

Untuk memperkuat rupiah, menurut Fakhrul, perlu dibangun ekspektasi positif terhadap perbaikan ekonomi melalui kombinasi kebijakan moneter dan fiskal. Jika BI memangkas suku bunga dan belanja pemerintah meningkat, arus modal diperkirakan akan kembali masuk ke dalam negeri dan memperkuat nilai tukar rupiah.

Fakhrul memperkirakan nilai tukar rupiah dapat menguat hingga ke level Rp 15.500 per dolar AS pada akhir tahun ini. Sementara itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksikan mencapai level 7.750 pada akhir 2025, didorong oleh faktor kesepakatan tarif dagang, pelonggaran BI-Rate, dan pemulihan ekonomi domestik.

Trimegah juga memproyeksikan sektor logam dan konsumer akan menjadi unggulan pada paruh kedua tahun ini.

Adapun Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI digelar pada Selasa (15/7) dan Rabu (16/7), dengan hasil kebijakan moneter diumumkan dalam konferensi pers sore hari ini.

Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan akan memberlakukan tarif impor sebesar 19 persen terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke pasar AS, berdasarkan hasil negosiasi langsung dengan Presiden RI, Prabowo Subianto.

Kesepakatan dagang tersebut juga mencakup komitmen pembelian energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, serta produk agrikultur senilai 4,5 miliar dolar AS oleh Indonesia. Trump turut mengumumkan komitmen pembelian 50 pesawat Boeing, terutama Boeing 777, meskipun belum dijelaskan pihak atau maskapai pembelinya.

Fakhrul menilai kesepakatan ini sebagai angin segar bagi Indonesia karena tarif yang dikenakan AS lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Malaysia (25 persen), Vietnam (20–40 persen untuk transhipment), dan Thailand (36 persen).

“Di tengah kondisi global yang volatil, kesepakatan ini menjadi sinyal positif,” katanya.

Fakhrul menambahkan, yang lebih penting dari besaran tarif adalah pernyataan resmi pemerintah AS mengenai posisi strategis Indonesia, khususnya terkait mineral tanah jarang, tembaga, dan sumber daya mineral lainnya yang memperkuat posisi tawar Indonesia ke depan.

Ia menilai, selisih tarif dengan negara lain merupakan momentum untuk mendorong pengembangan kawasan industri dan menarik investasi masuk ke Indonesia.

Fakhrul memperkirakan, selisih tarif ini dapat memindahkan arus investasi senilai 200–300 juta dolar AS ke Indonesia dalam satu hingga dua tahun mendatang.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement