Rabu 25 Jun 2025 15:58 WIB

Kisah Jan Ayu: Fesyen Tapis Lampung Jadi Andalan Ekspor Berkat BI

Dari desa ke pasar internasional, Jan Ayu bawa misi budaya dan lingkungan.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Owner Batik Jan Ayu, Linda Soedibyo,dalam Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Sumatera 2025 yang diselenggarakan Bank Indonesia (BI) di Lampung City Mall, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Selasa (24/6/2025).
Foto: Muhammad Nursyamsyi/Republika
Owner Batik Jan Ayu, Linda Soedibyo,dalam Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Sumatera 2025 yang diselenggarakan Bank Indonesia (BI) di Lampung City Mall, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Selasa (24/6/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Di tengah hiruk-pikuk dunia fesyen yang kerap berubah cepat, ada satu jenama lokal dari Kota Metro, Lampung, yang memilih berjalan dengan pijakan akar budaya dan nilai-nilai luhur. Namanya Jan Ayu, lahir pada November 2018, dibangun dari tekad seorang perempuan yang meninggalkan kenyamanan dunia kerja formal dan memilih jalan pulang untuk membesarkan identitas budaya kampung halaman.

Adalah Lidya Soedibyo, perempuan kelahiran Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, pada 17 Juli 1974, yang menjadi sosok di balik Jan Ayu. Perjalanan Jan Ayu dimulai saat Lidya memutuskan berhenti dari karier prestisiusnya sebagai Consultant for Governance and Anti-Corruption World Bank di Jakarta. Keputusan itu ia ambil untuk merawat ibu mertuanya yang sedang sakit. Tak disangka, masa jeda itu justru membuka jalan hidup baru yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Baca Juga

“Setelah ibu mertua berpulang, saya merasa enggan kembali ke Jakarta. Ada sesuatu yang membuat saya ingin tetap di Lampung,” kenang Lidya saat ditemui dalam Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Sumatera 2025 yang diselenggarakan Bank Indonesia (BI) di Lampung City Mall, Kota Bandar Lampung, Selasa (24/6/2025).

Di tanah kelahirannya, Lidya menemukan pesona kain tradisional Lampung, khususnya Tapis, salah satu kerajinan tradisional masyarakat Lampung yang biasanya terbuat dari benang katun dan benang emas. Ia mengaku baru benar-benar jatuh cinta saat mengetahui bahwa tiap motif dalam Tapis menyimpan kisah dan filosofi.

Lidya menyampaikan bahwa kain Tapis diyakini sebagai cara bertutur perempuan Lampung dalam menceritakan filosofi kehidupan dan nilai-nilai kebaikan kepada generasi berikutnya. Ia menerjemahkan karya wastra sebagai upaya melangkah ke arah yang lebih baik atau hijrah.

“Hal-hal seperti ini layak diceritakan kepada anak cucu kita, tidak saja sebagai warisan leluhur, tetapi juga sebagai penanda bahwa setiap manusia seharusnya bergerak ke arah yang lebih baik,” ucap Lidya.

Lidya yang semasa kecil gemar menggambar perlahan mulai mengasah kembali kecintaannya pada desain fesyen. Awalnya, ia hanya mencoba menggambar motif Tapis. Namun, seiring waktu, passion-nya berkembang menjadi keinginan membangun usaha yang berdampak sosial.

“Dulu saya memang sudah punya keinginan untuk terjun ke dunia sociopreneurship. Saya ingin membangun sesuatu yang bukan hanya bicara soal keuntungan, tapi juga punya kontribusi terhadap masyarakat dan budaya,” sambung Lidya.

Ia melihat adanya ironi dalam penggunaan kain Tapis yang sangat terbatas. Kain itu hanya dikenakan dalam upacara adat, pernikahan, atau hari-hari sakral. Di satu sisi, makna kulturalnya sangat tinggi. Tapi di sisi lain, rendahnya tingkat penggunaan membuat penghasilan para pengrajin tersendat.

“Bayangkan, satu kain bisa dipakai turun-temurun selama puluhan tahun. Artinya, tidak ada permintaan baru. Saya merasa kasihan pada pengrajin,” ujar Lidya.

photo
Owner Batik Jan Ayu, Linda Soedibyo,dalam Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Sumatera 2025 yang diselenggarakan Bank Indonesia (BI) di Lampung City Mall, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Selasa (24/6/2025). - ( Muhammad Nursyamsyi/Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement