Sabtu 07 Jun 2025 16:09 WIB

Dinilai tak Sejalan dengan Efisiensi, Ekonom Dorong Evaluasi Anggaran Konsumsi Rapat Pejabat

Achmad menekankan bahwa uang negara ialah uang rakyat.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi geliat ekonomi masyarakat.
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi geliat ekonomi masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan (SBM) Tahun Anggaran 2026. Di antaranya menetapkan biaya konsumsi untuk tingkat menteri, wakil menteri, atau pejabat setara eselon I sebesar Rp 171 ribu per orang per sekali rapat. Ekonom menilai, penetapan biaya konsumsi bagi pejabat tersebut bukanlah gambaran dari langkah pemerintah ingin melakukan efisiensi anggaran.

“Apakah wajar di tengah ketimpangan sosial dan tekanan fiskal yang dihadapi negara, pemerintah menetapkan biaya konsumsi rapat sebesar Rp 171 ribu per orang untuk pejabat negara? Apakah ini bentuk efisiensi seperti yang diklaim Kementerian Keuangan, atau justru representasi dari mentalitas elitis yang belum sepenuhnya bersih dari budaya boros birokrasi?” kritik Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam keterangannya, dikutip Sabtu (7/6/2025).

Baca Juga

Achmad mengatakan, aturan baru dalam beleid tersebut telah memantik reaksi publik, di tengah situasi ekonomi yang masih sulit akibat dampak pandemi, inflasi pangan, serta ketidakpastian fiskal jangka menengah. 

Menilik dari kacamata sosial dan etika, menurutnya, penetapan biaya konsumsi untuk pejabat Rp 171 ribu per orang sekali rapat dinilai kontras dengan kondisi masih banyaknya masyarakat miskin yang lebih membutuhkan sokongan finansial.  Ia membayangkan sebuah meja rapat berpendingin udara di kementerian, yang mana seorang pejabat menikmati makanan dan kudapan seharga Rp 171 ribu, di belahan lain ada banyak anak miskin yang seyogyanya bisa mengonsumsi makanan bergizi dengan jumlah uang yang sama. Atau ada banyak keluarga marginal yang harus memilih antara membeli beras atau membayar uang sekolah anaknya. Di banyak pelosok daerah, gizi buruk masih menjadi fakta. 

“Di ruang-ruang sempit yang dipenuhi suara-suara harapan, uang Rp 171 ribu bukanlah biaya makan, melainkan biaya hidup selama beberapa hari,” ujar dia. 

Achmad kemudian menganalogikan negara sebagai sebuah rumah tangga besar. Apabila kepala keluarga –dalam hal ini birokrasi- mengalokasikan dana lebih untuk kenyamanan sendiri, sementara sebagian anak di rumah itu masih kelaparan, maka ada sesuatu yang keliru dalam prioritas pengelolaan rumah tangga tersebut.

Lebih lanjut, Achmad juga mengkritisi dalih pemerintah bahwa angka tersebut hanyalah batas maksimal. Namun, dalam praktiknya, standar biaya kerap kali berubah menjadi standar pengeluaran. Batas atas seringkali ditafsirkan sebagai target belanja, bukan rambu pengaman. 

“Ini bukan hanya soal nominal, tapi soal paradigma pengelolaan keuangan publik. Dalam konstruksi sosial, kebijakan ini menghadirkan kesan bahwa efisiensi negara hanya berlaku kepada masyarakat, sementara kenyamanan elit birokrasi masih dipertahankan dengan justifikasi ‘standar’,” jelasnya. 

Padahal, lanjutnya, esensi dari pelayanan publik adalah keadilan dalam pengorbanan dan proporsionalitas dalam hak. Sehingga, ketika rakyat diminta untuk hidup hemat dan menahan konsumsi, menjadi sesuatu yang wajar jika rakyat berharap pengorbanan serupa dari para pengambil kebijakan. 

Lebih lanjut, Achmad menekankan bahwa uang negara ialah uang rakyat. Setiap rupiah yang dibelanjakan seharusnya melalui lensa etika, yakni apakah dana tersebut memberi manfaat terbesar bagi masyarakat yang paling membutuhkan. 

“Dalam moralitas kebijakan publik, efisiensi bukan hanya tentang menghemat pengeluaran, tapi tentang mengalihkan sumber daya kepada mereka yang paling lemah, paling terdampak, dan paling membutuhkan kehadiran negara,” kata dia. 

“Dengan demikian kebijakan uang konsumsi rapat Rp 171 ribu menjadi problematik bukan karena nilainya semata, tapi karena ia mencerminkan disonansi moral dalam manajemen anggaran,” tambahnya.

Achmad mengatakan, langkah efisiensi anggaran sejatinya dimulai dari atas ke bawah. Dalam falsafah Jawa, pemimpin sejati adalah yang ‘nengsemake’, artinya membangkitkan simpati dengan kesederhanaan dan laku hidup yang memberi teladan. 

“Ketika negara menata ulang anggaran, seharusnya ia memberi pesan bahwa pengorbanan dimulai dari atas. Para pejabat tinggi harus rela menerima pemotongan hak-hak simbolik seperti konsumsi rapat, perjalanan dinas mewah, atau insentif yang tidak berdampak langsung pada pelayanan publik,” terangnya. 

Ia mencontohkan ada beberapa negara maju yang patut menjadi role model. Seperti Selandia Baru, di negara tersebut pada saat pandemic melanda, Perdana Menteri dan menterinya memangkas gaji mereka sebagai bentuk solidaritas. 

Di negara-negara Skandinavia, pejabat publik hidup secara wajar, bahkan cenderung sederhana. Itu karena budaya tata kelola mereka meletakkan etika di atas formalitas belaka.

Achmad mengungkapkan, kritik terhadap kebijakan tersebut harus dimaknai bukan sebagai penolakan terhadap kebutuhan birokrasi, tetapi sebagai seruan untuk membangun negara yang lebih berpihak. Ia menilai, konsumsi rapat boleh jadi kecil dalam struktur APBN, namun itu adalah simbol, yakni simbol keberpihakan atau pengabaian, dan simbol transparansi atau kemunafikan fiskal.

“Langkah terbaik yang bisa diambil pemerintah adalah melakukan evaluasi terhadap semua standar biaya yang menyangkut konsumsi, perjalanan, dan fasilitas bagi pejabat negara. Evaluasi ini harus berbasis partisipasi publik dan dijalankan dengan prinsip keterbukaan informasi,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement