Ahad 27 Apr 2025 18:06 WIB

Ekonom Kritisi Pernyataan Prabowo Soal Kondisi Pasar Modal 

Pelaku pasar mempertanyakan apakah Presiden memahami dinamika pasar modal.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Pada Sidang Kabinet Paripurna 21 Maret 2025, Prabowo menyatakan tidak masalah jika harga saham naik atau turun, asalkan stok pangan nasional terjaga dengan baik. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Pada Sidang Kabinet Paripurna 21 Maret 2025, Prabowo menyatakan tidak masalah jika harga saham naik atau turun, asalkan stok pangan nasional terjaga dengan baik. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengkritisi sejumlah pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai kondisi pasar modal saat ini. Menurutnya, pesan publik perlu disampaikan secara lebih berhati-hati dengan narasi yang memperkuat kepercayaan pasar. 

“Presiden Prabow Subianto setidaknya telah tiga kali mengeluarkan pernyataan yang menuai kontroversi di kalangan pelaku pasar keuangan,” ujar Achmad dalam keterangannya, dikutip Ahad (27/4/2025). 

Baca Juga

Tiga pernyataan yang dinilai kontroversi tersebut bergulir dari Desember tahun lalu. Yakni pada 4 Desember 2024 dalam dalam Milad Muhammadiyah ke-112 di Kupang, Prabowo menyamakan investasi saham bagi rakyat kecil dengan praktik perjudian. Pada saat itu, disampaikan pandangan yang selalu menang adalah para bandar besar, sedangkan rakyat kecil hanya menjadi korban permainan. 

Pernyataan kedua yakni pada Januari 2025, Prabowo kembali menyinggung ketidakseimbangan di pasar modal dengan menyampaikan program makan bergizi gratis (MBG) yang diusungnya semestinya tidak direspons secara negatif oleh pelaku pasar karena tujuannya jelas untuk rakyat. 

Adapun yang ketiga, pada Sidang Kabinet Paripurna 21 Maret 2025, Prabowo menyatakan tidak masalah jika harga saham naik atau turun, asalkan stok pangan nasional terjaga dengan baik.

“Tiga pernyataan tersebut menimbulkan kegelisahan yang cukup signifikan. Pelaku pasar mempertanyakan apakah Presiden memahami dinamika pasar modal yang sesungguhnya. Lebih jauh, muncul kekhawatiran bahwa pemerintah tidak berpihak pada penguatan pasar modal sebagai pilar pembangunan ekonomi nasional,” ujar dia. 

Menurut Achmad, jika pernyataan-pernyataan semacam itu terus bermunculan dan berulang, dapat menjadi indikasi pasar modal tidak berada dalam radar prioritas kebijakan ekonomi pemerintah. Hal itu, kata dia, bukan sinyal yang dikehendaki oleh pelaku usaha, investor domestik, apalagi asing. 

Achmad menekankan pasar modal bukanlah semata ruang spekulasi. Pasar modal merupakan infrastruktur penting yang menyediakan sumber pendanaan bagi perusahaan, baik melalui penawaran saham maupun obligasi. 

“Ketika kepercayaan terhadap pasar goyah, perusahaan akan kesulitan mencari dana ekspansi, dan efek dominonya akan terasa pada terhambatnya penciptaan lapangan kerja, stagnasi konsumsi, serta pertumbuhan ekonomi yang melemah,” ungkapnya.

Ia berujar, jika pemerintah dianggap tidak berpihak pada pasar, investor akan menilai risiko investasi di Indonesia lebih tinggi. Investor pun bisa mengalihkan dananya ke negara lain yang menawarkan kepastian dan stabilitas lebih kuat. 

Ia menyebut, apabila pernyataan-pernyataan yang mereduksi fungsi pasar modal terus disuarakan oleh Presiden atau pejabat tinggi lainnya, risiko sistemik terhadap sektor keuangan bisa meningkat. 

Dalam jangka pendek, ia mengatakan, bisa terjadi aksi jual besar-besaran yang menyebabkan penurunan indeks saham. Adapun dalam jangka menengah dan panjang, persepsi negatif akan menyulitkan perusahaan untuk melakukan initial public offering (IPO), membuat investor institusi menahan dana, dan menurunkan rating persepsi negara oleh lembaga internasional.

“Akibatnya, biaya utang negara dan swasta naik, dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dapat meningkat,” kata dia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement