REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti potensi ancaman perang dagang bagi perekonomian Indonesia. Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef Abdul Manap Pulungan menyebut sektor keuangan menjadi yang paling rentan terdampak.
"Yang paling besar terdampak itu dari sisi FDI, moneter, dan sektor keuangan seperti pasar saham, modal, dan perbankan," ujar Manap dalam diskusi publik Indef bertajuk "Perang Dagang dan Guncangan Pasar Keuangan" di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
Manap menjelaskan ketergantungan Indonesia terhadap pembiayaan dari sektor perbankan menjadi titik lemah di tengah gejolak global. Manap menilai kontribusi sektor keuangan lainnya masih rendah sehingga tidak mampu menopang pembiayaan jangka panjang.
"Ini akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi karena struktur sektor keuangan kita masih belum dalam," ucap Manap.
Manap menyampaikan rasio sektor keuangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih rendah, bahkan dalam situasi normal sekalipun. Menurut Manap, hal ini membatasi ruang ekspansi ekonomi nasional.
"Rasio keuangan kita itu hanya sekitar 40 persen hingga 50 persen terhadap PDB," sambung Manap.
Berdasarkan survei McKinsey, Manap menyebut ekspektasi terhadap perekonomian dunia cenderung memburuk dalam beberapa bulan ke depan. Dalam survei tersebut, responden pelaku ekonomi dari negara-negara menunjukkan pesimisme terhadap kondisi ekonomi global akibat perang dagang.
"Survei McKinsey menunjukkan mayoritas responden memperkirakan situasi global akan memburuk," lanjut Manap.
Manap juga menyoroti dampak perang tarif AS dan Cina yang masih berlangsung dan belum menunjukkan titik terang. Manap mengingatkan pemerintah akan potensi masuknya limpahan produk Cina ke pasar Indonesia.
"Kita khawatir produk-produk yang tidak bisa masuk ke AS akan membanjiri pasar Indonesia dan menekan neraca perdagangan kita," ucap Manap.
Manap menyampaikan dampak perang dagang juga akan terada pada sisi ekspor yang masih didominasi komoditas mentah dan memperburuk neraca transaksi berjalan. Manap memperkirakan tekanan pada neraca ini akan meningkat pada 2025.
"Komposisi ekspor kita yang didominasi komoditas mentah membuat neraca perdagangan sangat rentan," lanjut Manap.
Manap menyampaikan kontribusi perdagangan internasional terhadap PDB pun menunjukkan tren penurunan dalam dua tahun terakhir. Pada 2022 kontribusinya mencapai empat persen karena lonjakan harga komoditas, namun tren itu tak berlanjut.
"Kontribusi perdagangan terhadap PDB menurun sepanjang 2023 hingga 2024," ucap Manap.
Manap menegaskan pentingnya menjaga devisa sebagai alat intervensi pasar di tengah gejolak nilai tukar. Sayangnya, devisa dari sektor perdagangan kian terbatas.
"Indonesia sangat bergantung pada perdagangan sebagai sumber utama devisa untuk menjaga stabilitas Rupiah," sambung Manap.
Manap mengatakan struktur neraca pembayaran juga memperlihatkan ketimpangan yang mengkhawatirkan, dengan hanya neraca barang yang mencatatkan surplus. Manap mencatat bahwa neraca jasa dan pendapatan primer menyedot miliaran dolar dari perekonomian nasional.
"Neraca jasa dan pendapatan primer kita membuat sekitar 55 miliar dolar AS keluar dari Indonesia," lanjut Manap.
Manap menilai kemampuan Indonesia menghasilkan devisa sangat terbatas dalam situasi ekonomi global saat ini. Manap mengingatkan kondisi tersebut dapat menghambat upaya stabilisasi ekonomi nasional.
"Kemampuan kita menghasilkan devisa sangat rendah, padahal situasi global sedang sangat berat," kata Manap.