REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini berpandangan kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump adalah sepenuhnya kebijakan politik. Kebijakan ekonomi tidak lagi memadai atau tidak bisa diandalkan untuk menghadapi langkah politik Trump tersebut.
“Akar masalah dari tarif Trump yang muncul di hadapan kita tidak lain adalah langkah politik murni. Jadi sangat naif jika kita hanya merespons dengan kebijakan ekonomi,” ujar Didik dalam keterangannya, Kamis (10/4/2025)
Didik mengatakan sudah saatnya beranjak masuk ke siklus kebijakan politik untuk merespons masalah-masalah ekonomi yang terjadi karena praktek kebijakan politik yang tidak berbasis asas dan hukum ekonomi. Yakni dengan antisipasi politik dan kebijakan pada level kesadaran (cognitive), baik bagi para pengambil keputusan, dunia usaha, maupun masyarakat luas.
“Kita harus menyadari dan menerima kenyataan pahit dan rasa campur aduk bahwa proses politik dan demokrasi bisa mendadak menghasilkan orang aneh seperti Donald Trump. Produk turunannya adalah politik juga, yang tiba-tiba membuat kebijakan yang tidak masuk nalar teori dan asas hukum ekonomi,” jelasnya.
Setelah menyadari masalah tersebut, Didik menuturkan, pemerintah Indonesia seharusnya mengambil langkah politis dalam menanganinya. “Dalam hal ini Presiden harus mengambil jalan politik juga karena akar masalah dari masalah ini adalah politik,” terang Guru Besar Ilmu Ekonomi yang juga Rektor Universitas Paramadina tersebut.
Didik menyebut, akibat dan dampak dari tarif Trump sudah pasti terjadi. Di antaranya yang akan terdampak langsung adalah ekspor Indonesia ke AS yang tercatat sekitar 11-13 persen dari total ekspor ke seluruh dunia. Menurut perhitungannya, jika ke depan ekspor ke AS terkena dampak penurunan sekitar 30 persen, itu akan berdampak terhadap total ekspor Indonesia sekitar 3-4 persen. Porsi itulah yang dinilai harus segera digantikan dengan pasar baru dan kesepakatan baru dengan negara-negaa lain yang juga terkena dampaknya.
Oleh karena itu, menurut hemat Didik, Indonesia sebagai negara besar perlu melakukan konsolidasi politik membuat poros ketiga, yakni bersama Asean, Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan), India, dan Amerika Latin (Brazil, Meksiko). “Sejatinya dan secara politik kesintingan Trump ini adalah head to head dengan China, kita tidak perlu masuk ke dalam kutub tersebut,” ujar dia.
Didik menekankan, politik luar negeri tersebut juga mutlak harus ditumpangi dengan politik perdagangan yang berorientasi di luar AS, yang mana ada 88 persen ekspor Indonesia. “Diplomasi politik ke kawasan-kawasan Asean, Asia Timur, India, Amerika Latin adalah peluang baru dalam era baru ketika AS sudah kalah bersaing dengan China. Kepanikan Trump hanyalah krisis transisi sejarah dimana kekuatan ekonomi yang bergeser dari Atlantik ke Pasifik,” jelasnya.
Kendati demikian, Didik mengingatkan, di tengah kondisi yang terjadi saat ini, pemerintah harus bekerja keras dalam menata kebijakan ekonomi dalam negeri dalam rangka menjaga ketenangan makro ekonomi, inflasi, serta nilai tukar rupiah. Menurutnya, rencana industrialisasi dan hilirisasi tetap perlu dijalankan sesuai rencana untuk memperkuat ekonomi dalam negeri.
View this post on Instagram