Selasa 18 Mar 2025 13:12 WIB

Analis Jelaskan Faktor Luar dan Dalam Negeri Pemicu IHSG Nyungsep

IHSG tercatat ditutup melemah 395,87 poin atau 6,12 persen ke posisi 6.076,08.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Pekerja berkomunikasi didekat layar digital pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2025).
Foto: Republika/Prayogi
Pekerja berkomunikasi didekat layar digital pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nicodemus alias Nico memaparkan berbagai faktor penyebab Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan lebih dari enam persen pada penutupan perdagangan sesi I, Selasa (18/3/2025). Bursa sempat mengalami trading halt karena turun lima persen.

Ketika dibuka setelah jeda perdagangan 30 menit, bursa masih turun sampai enam persen. Nico menyebut, berbagai sentimen dari global di antaranya tensi geopolitik yang meningkat karena Presiden Rusia Vladimir Putin berkeinginan untuk menjalanlan perang lebih lama.

Baca Juga

Lalu, pembalasan tarif yang lebih besar dari Uni Eropa terhadap Amerika Serikat (AS), serta kekhawatiran pelaku pasar terhadap resesi di AS yang terus meningkat. Menurut Nico, semua itu adalah faktor pemicu dari luar negeri.

Sementara itu, dari dalam negeri, sentimen berupa penerimaan Indonesia yang mengalami penurunan hingga 30 persen, yang mengakibatkan defisit APBN melebar menjadi salah satu pemicunya. "Sehingga membutuhkan penerbitan utang yang lebih besar dan tentu saja rupiah yang semakin melemah," ujar Nico.

Dengan data itu, menurut dia, dapat menyebabkan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI) juga akan lebih sulit untuk mengalami penurunan. Lalu, penerimaan pajak domestik yang mengalami penurunan hingga 30,19 persen year on year (yoy) yang hanya senilai Rp 269 triliun.

Kemudian, defisit APBN yang mencapai Rp 31,2 triliun per Februari 2025. Selain itu, juga belanja pemerintah juga turun 7 persen, sehingga utang pun naik 44,77 persen pada Januari 2025.

"Semua khawatir bahwa risiko fiskal kian mengalami peningkatan di Indonesia yang membuat banyak pelaku pasar dan investor pada akhirnya memutuskan untuk beralih kepada investasi lain yang jauh lebih aman dan memberikan kepastian imbal hasil. Sehingga saham menjadi tidak menarik, dan mungkin obligasi menjadi pilihan setelah saham," ujar Nico.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement