REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini menyampaikan tanggapannya mengenai kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mengalami koreksi baru-baru ini. Ia mengingatkan dinamika di pasar modal merupakan alarm terhadap kondisi ekonomi dan politik.
“Faktor yang berpengaruh tidak lain adalah faktor ekonomi politik, yaitu gabungan dari keduanya, ekonomi dan politik,” kata Didik dalam keterangannya kepada Republika, Rabu (19/3/2024).
Didik menerangkan, biasanya pemerintah baru selalu disambut positif oleh pasar karena pemilihan umum sejatinya adalah penyegaran kepemimpinan. Mayoritas rakyat pemilih mendukung pemerintah baru sebagai kerelaan untuk dipimpin oleh pemimpin anyar tersebut.
Namun masalah terjadi jika di atas kertas formal mayoritas mendukung tetapi proses demokrasinya penuh tekanan, politik uang, dan penyimpangan politik yang memanipulasi rakyat, sehingga tidak benar-benar nyata dukungan riilnya.
“Pasar modal adalah alarm atau wake up call terhadap politik dan kebijakan pemerintah. Yang pertama dan terang benderang faktor saham yang terjungkal tidak lain adalah faktor politik,” ungkapnya.
Didik mengatakan, yang wajib diingat oleh pemerintah atau pengambil keputusan adalah lebih dari dua pertiga dari masalah ekonomi adalah politik, dan sebaliknya masalah terbesar dari politik adalah ekonomi.
Menurut Didik, IHSG yang terjungkal terjadi seiring dengan kondisi pasar yang tidak sreg dan menolak politik ekonomi dan kebijakan yang dilakukan selama ini. “Penolakan itu terlihat dari modal yang hengkang dari Indonesia atau memilih instrumen lain yang lebih aman dari pengaruh politik,” ujarnya.
Lantas Didik menyinggung masalah politik TNI. Itu seiring dengan ramainya isu RUU TNI. Ia menilai jangan anggap remeh politik TNI, yang diolah oleh segelintir orang di dalam kekuasaan, bahwa tidak ada hubungan dengan masalah ekonomi. Demokrasi yang dibangun kembali pada masa refomrasi setelah jatuh selama tiga dekade dianggap bisa tergelincir dan menjadi trigger kejatuhan demokrasi ke dalam militerisme dan dwifungsi.
“Faktor ketidakstabilan ini menjadi trigger pasar menolak dan modal pergi ke tempat lain,” kata dia.

Didik melanjutkan, IHSG yang terkoreksi dalam tentunya terpengaruh kebijakan ekonomi. Ia menyinggung mengenai pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Menurutnya, kebijakan ekonomi pembentukan Danantara telah mengais reaksi pasar yang frontal.
Ia menyebut bahwa investor asing kabur membawa Rp 24 triliun, termasuk Rp 3,47 triliun sehari setelah Danantara diresmikan pada 24 Februari 2025. Menurutnya, kondisi itu perlu diperbaiki dengan cara datang dan bersahabat dengan pasar, serta tidak lagi merasa kebijakan yang diluncurkan mendadak bakal pasti diterima pasar.
“Jadi politik, perilaku pemerintah, dan kebijakan jelas sebagai biang kerok dari pasar menolak. Jika dibiarkan, bisa menjadi reaksi yang tidak bisa dimaafkan, ‘vote of no confidence’ terhadap pemerintah. Maka dari itu harus diperbaiki, ramah terhadap pasar, datang kepada pasar, dan membuat kebijakan yang propasar,” kata Didik.
Didik juga mengatakan bahwa kondisi fiskal yang mana defisit anggaran kian melebar, sedangkan penerimaan pajak seret. Itu dinilai menimbulkan ketidakpastian pelaku pasar.
“Ketidakpercayaan terhadap APBN adalah juga penyebab dari ketidakpercayaan pasar terhadap kebijakan pemerintah. Masalah utang yang dikritik publik selalu mendapat reaksi yang ‘denials’ dan meremehkan masukan-masukan teknokratgis dari ekonomi, ahli dan pengamat. Defisit penerimaan APBN yang diumumkan terlambat juga memperjelas bahwa pengelolaan APBN tidak pruden,” jelasnya.
Didik menekankan, faktor APBN dan kebijakan fiskal sangat penting untuk dicermati. Faktor tersebut dinilai 100 persen adalah politik dan diputuskan secara politis pula. Menurut analisisnya, pasar melihat kebijakan fiskal saat ini sebagai faktor yang membahayakan.
“Prosesnya, perilaku politik kebijakannya, dan angka-angka yang keluar dari proses kebijakan tersebut, pasar melihat hal ini sebagai ancaman terhadap stabilitas makroekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi dan nilai tukar. Investor memilih menarik diri lebih dini daripada menghadapi resiko besar modalnya ambles,” terangnya.
Oleh sebab itu, dengan kondisi yang terjadi, pemerintah diharapkan bisa membuka diri untuk melakukan perbaikan. Jika tidak, dampaknya akan jelas, bahwa kepercayaan pasar bisa terus merosot dan investor enggan untuk berinvestasi di Indonesia.
“Investor, baik asing maupun domestik akan bersifat menunggu dan tidak akan investasi dulu, yang berarti investasi akan sementara atau berlanjut stagnan. Modal yang ada bisa keluar dan menggerus likuiditas, yang pada gilirannya akan menekan rupiah menekan nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Ia melanjutkan, sektor riil, terutama sektor industri untuk program hilirisasi dinilai akan mengkerut untuk mendapatkan sokongan dana. Di samping itu, emiten yang berencana menggalang dana melalui pasar modal (IPO, right issue) kemungkinan menunda aksi korporasi karena valuasi yang melemah.
“Apakah bisa mencapai pertumbuhan 8 persen seperti janji kampanye? Lupakan dulu mimpi ini, pemerintah perlu bergandengan dan berbaik kebijakan dengan pasar,” ujarnya.
View this post on Instagram