Selasa 18 Feb 2025 22:57 WIB

Istri-Istri Nelayan Subang Olah Limbah Jadi Produk Beromzet Miliaran

Para istri nelayan ubah ikan tengkek yang tadinya limbah jadi produk bernilai jual.

Berkat sentuhan
Foto: Dok istimewa
Berkat sentuhan

REPUBLIKA.CO.ID, SUBANG -- Di pesisir Cilamaya Girang, Subang, para istri nelayan tergabung dalam KUW Greenthink mengubah nasib ikan tengkek, yang dulu dianggap tak berharga, menjadi sumber rezeki beromzet miliaran. Berkat sentuhan 'ajaib' Eka Mustika dan 21 ibu-ibu visioner lainnya, ikan tengkek kini menjelma menjadi produk UMKM unggulan, Mustika Food.

“Dulu, ikan tengkek tidak ada harganya. Bahkan, dianggap limbah oleh nelayan. Kalau dapat tengkek di laut, dijual murah,” kata Eka.

Baca Juga

Ikan tengkek kurang diminati konsumen. Tengkek dihindari lantaran anatomi tubuhnya yang penuh duri. Permintaan pasar terhadap ikan tengkek juga tidak sebesar jenis ikan lain seperti tenggiri, tongkol, kakap, dan bandeng. Alhasil harga jual tengkek rendah.

Mengolah ikan tengkek pun punya tantangan tersendiri, karena kulitnya yang keras. Ikan ini memang bisa dibakar, seperti ikan etong atau ayam-ayam yang karakter kulitnya sama-sama keras. Bedanya, ikan etong dan ayam-ayam lebih berdaging dengan sedikit duri. Sementara, daging tengkek sedikit dengan duri lebih banyak.

Tengkek, si ikan kurus berduri yang tak diminati pasar, kini menjelma menjadi produk olahan lezat dan bergizi, berkat kegigihan dan kreativitas Eka dan perempuan tangguh KUW Greenthink. Melalui tangan-tangan kreatif mereka, tengkek disulap menjadi berbagai produk olahan, seperti abon, dendeng, dan kerupuk.

Sebelum Mustika Food dan produk olahan ikan tengkeknya dikenal banyak orang, ikan tengkek hanya dijual di bawah Rp 5.000 per kilo. Bahkan sempat menyentuh Rp 2.000-Rp 3.000 per kilogram. Tiap satu kilogram berisi 4-5 ekor ikan.

Harga ikan tengkek naik seiring kebutuhan Eka tehadap bahan baku produknya. Dalam satu bulan, Eka memerlukan bahan baku ikan tengkek rata-rata 1,5-2 kuintal. Jumlah itu untuk memenuhi permintaan konsumen lintas kota sampai lintas negara, mulai dari Subang, Bandung, Jabodetabek, Bali, Jambi, hingga Singapura. Hasilnya, harga ikan tengkek melonjak naik menyentuh hingga Rp 17 ribu-Rp 25 ribu per kilogram.

Bisnis Eka semakin membesar berkat diversifikasi produk. Di bawah bimbingan PHE ONWJ, produk Eka merambah dari abon ke kerupuk, cheese stick, dan ikan asin. Omzet UMKM Mustika Food berkisar Rp 100 jutaan per bulan. Dalam setahun, bisnis yang dijalankan Eka serta empat karyawannya mampu meraup omzet di atas Rp 1 miliar.

Dulu, di tengah ketidakpastian harga ikan tengkek yang rendah, Eka dan teman-temannya tidak tinggal diam. Mereka melihat potensi yang tersembunyi dalam ikan yang sering dianggap limbah oleh para nelayan. Di bawah bimbingan PHE ONWJ melalui program tanggung jawab sosial dan lingkungan, Eka memulai langkah untuk mengolah ikan tengkek menjadi produk bernilai tinggi, seperti abon.

Eka memulai bisnisnya sejak 2016. Ia memulai usahanya dalam kondisi serba terbatas. Produknya dibungkus plastik seadanya, dan dipasarkan dari mulut ke mulut, dititip ke toko kelontong atau warung-warung. Ia juga belum mengerti operasional bisnis. Segalanya ia jalankan manual, pencatatan keuangan dan stok barang, manajemen stok, dan arus keluar masuk uang.

Kondisi ini membuat Eka sulit bersaing. Ia berhadapan dengan perusahaan bisnis abon yang sudah mapan dan menggunakan alat produksi yang canggih dan modern. Eka tentu kalah di harga jual dan kualitas kemasan. Produknya pun belum menjangkau minimarket dan toko-toko besar. Satu-satunya keunggulan produk Eka ada pada rasa abon yang khas dan legit, berkat bahan baku tengkek.

“Kata pelanggan, abon tengkek beda dengan abon ikan jenis lain. Tekstur dagingnya mirip tongkol, crispy, tapi rasanya lebih gurih dan aromanya lebih harum,” jelas Eka.

Pada 2017, PHE ONWJ mulai membentuk KUW Greenthink. Eka masuk sebagai anggota. Melalui program yang diselenggarakan PHE ONWJ, Eka tidak sekadar dilatih menjadi pebisnis tanpa tanding. Produk olahan Eka juga didukung mendapatkan izin usaha dan sertifikasi produk.

Kini, Eka sudah mengantongi NIB (Nomor Induk Berusaha), SPP-IRT (Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga), dan sertifikasi halal. Legalitas ini meningkatkan kepercayaan konsumen, memperluas akses pasar, dan meningkatkan daya saing.

Produknya semakin laris. Eka merekrut empat ibu rumah tangga untuk menunjang peningkatan produksi. Keempatnya juga istri-istri nelayan. Ibu dua anak ini juga aktif menjual produknya melalui marketplace.

Menurut Head of Communication, Relations & CID PHE ONWJ R Ery Ridwan, program pembinaan yang dilakukan bertujuan untuk mendukung kemandirian ekonomi masyarakat pesisir, terutama pemberdayaan bagi para perempuan, istri-istri nelayan. “Kami sangat bangga melihat bagaimana inovasi dan kerja keras mereka telah sukses mengubah tantangan menjadi peluang. Semoga keberhasilan ini dapat menginspirasi komunitas lain untuk melakukan hal serupa,” kata Ery dalam siaran persnya, Selasa (18/2/2025).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement