Selasa 17 Dec 2024 17:00 WIB

PPN Naik 12 Persen, Ekonom Sebut Kebijakan Fiskal Harus Adil

Kenaikan PPN 12 persen bertujuan untuk mengamankan posisi fiskal.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Langkah kebijakan PPN 12 persen diambil untuk menjaga stabilitas fiskal di tengah tantangan ekonomi yang semakin berat. (ilustrasi)
Foto: Bea Cukai
Langkah kebijakan PPN 12 persen diambil untuk menjaga stabilitas fiskal di tengah tantangan ekonomi yang semakin berat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah memutuskan untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 2025 dengan pemberlakuan tarif tunggal. Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai langkah ini diambil untuk menjaga stabilitas fiskal di tengah tantangan ekonomi yang semakin berat.  

“Menaikkan PPN bukanlah langkah ideal, namun dapat dimengerti melihat situasi fiskal yang sulit. Meski begitu, kenaikan tarif ini harus diiringi dengan reformasi tata kelola pajak. Masalah utama tax ratio kita yang rendah bukan hanya tarif, tetapi juga tax base yang sempit, korupsi di sektor pajak, dan rendahnya kepatuhan wajib pajak,” jelas Wijayanto saat dihubungi, Selasa (17/12/2024).  

Baca Juga

Menurutnya, kenaikan PPN ini bertujuan untuk mengamankan posisi fiskal, terutama dalam menghadapi tantangan berat di tahun 2025 dan 2026. Namun, ia menekankan, kebijakan tersebut tidak cukup hanya menaikkan tarif, tetapi harus disertai reformasi struktural agar dampaknya signifikan.  

Perihal pemberian insentif pajak yang menyertai kenaikan PPN, Wijayanto mengapresiasi langkah tersebut untuk mencegah penurunan daya beli masyarakat. Namun, ia mengingatkan, implementasi kebijakan insentif seringkali menjadi tantangan terbesar.  

“Insentif memang langkah yang tepat, tetapi semakin kompleks bentuknya, semakin sulit pelaksanaannya di lapangan. Pemerintah juga perlu memastikan masyarakat dan pelaku usaha memahami kebijakan tersebut agar dapat dimanfaatkan secara maksimal,” ungkapnya.  

Ia juga menyoroti lemahnya komunikasi pemerintah dalam menyampaikan kebijakan insentif kepada masyarakat. Menurutnya, komunikasi yang buruk seringkali membuat insentif tidak dimanfaatkan secara optimal oleh pelaku usaha maupun konsumen.  

Wijayanto juga menegaskan, situasi kenaikan PPN dari 10 persen ke 11 persen pada tahun 2022 tidak bisa dijadikan pembanding. Pasalnya, pada tahun tersebut, ekonomi global baru pulih dari pandemi Covid-19, sehingga terjadi lonjakan permintaan (pent-up demand).  

“Saat itu masyarakat euforia berbelanja karena memanfaatkan berbagai benefit pasca-pandemi. Namun, pada 2024, situasinya berbeda. Ekonomi global melambat, daya beli masyarakat melemah, dan kebijakan global seperti ‘Trump Effect’ akan semakin terasa dampaknya,” terangnya.  

Oleh sebab itu, ia menilai bahwa pemberian insentif sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan ekonomi saat ini.  Wijayanto juga menekankan pentingnya prinsip keadilan dalam kebijakan fiskal. Ia menilai kebijakan kenaikan PPN dan penyesuaian Upah Minimum Provinsi (UMP) cenderung menguntungkan pemerintah dan pekerja, tetapi memberatkan pelaku usaha.  

“Stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah sejauh ini belum memberikan manfaat langsung yang nyata bagi pengusaha. Pemerintah harus lebih memperhatikan dunia usaha agar mereka tetap optimistis dan mau berinvestasi,” tegasnya.  

Ia juga mengingatkan risiko jika pengusaha lokal kehilangan minat untuk berinvestasi di dalam negeri. “Jika pengusaha domestik saja tidak mau berinvestasi, apalagi pengusaha asing? Ini bisa menjadi ancaman serius bagi target pertumbuhan ekonomi kita,” tambah Wijayanto.  

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement