REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menyiapkan insentif berupa Paket Stimulus Ekonomi yang akan diberikan kepada berbagai kelas masyarakat seiring diberlakukannya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025. Adapun, proyeksi insentif PPN dibebaskan yang diberikan pada tahun 2025 sebesar Rp 265,6 triliun. Artinya, negara kehilangan potensi pendapatan yang signifikan.
"Secara keseluruhan belanja perpajakan kita perkirakan, kita bisa proyeksi mencapai Rp 445,5 triliun, ini sebesar 1,83 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)," ujar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara di Gedung Djuanda Kementerian Keuangan, Senin (16/12/2024).
Menurut Suahasil, angka tersebut adalah jumlah yang besar. Karena, dari sisi potensi, seharusnya bisa meningkatkan rasio pajak menjadi 12,2 persen dari PDB jika semua pungutan tersebut dimaksimalkan. Namun, pemerintah memutuskan untuk memberikan pembebasan guna mendukung daya beli masyarakat.
Belanja perpajakan ini mencakup berbagai pembebasan pajak, termasuk PPN senilai Rp 265,6 triliun, PPh sebesar Rp 144,7 triliun, dan jenis pajak lainnya sebesar Rp 35,2 triliun. Beberapa sektor utama yang menikmati pembebasan PPN adalah kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, dan jasa publik seperti pendidikan, kesehatan, serta transportasi umum.
Angka belanja perpajakan ini terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023, nilainya mencapai Rp 362,5 triliun atau 1,73 persen dari PDB, dan pada 2024 naik menjadi Rp 399,9 triliun atau 1,77 persen dari PDB.
Kebijakan ini, meskipun bertujuan menjaga daya beli masyarakat, tetap menimbulkan tantangan bagi pemerintah dalam meningkatkan rasio pajak nasional. Pasalnya, belanja perpajakan adalah bentuk stimulus ekonomi, sehingga diperlukannya keseimbangan agar pendapatan negara cukup untuk mendukung pembangunan.