REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Indonesia menyatakan masih menunggu keputusan Amerika Serikat terkait keberlanjutan fasilitas dagang Generalized System of Preferences (GSP). Jika skema ini dicabut, ribuan produk ekspor nasional terancam dikenai tarif lebih tinggi.
“Indonesia sudah memberikan second offer seperti yang saya sudah sampaikan dan second offer ini sudah diterima oleh USTR dan sudah di-review,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Tenggat negosiasi antara kedua negara ditetapkan pada 9 Juli 2025. GSP memungkinkan produk-produk seperti sepatu, pakaian, furnitur, dan barang rumah tangga masuk ke pasar Amerika tanpa bea masuk.
Jika fasilitas itu dihentikan, harga produk Indonesia bisa menjadi lebih mahal dibanding negara pesaing seperti Vietnam atau Bangladesh.
“Tentu Indonesia tinggal menunggu feedback, apakah masih ada feedback tambahan terkait dengan proses negosiasi yang ada. Dan saat sekarang, tim Indonesia stand by di Washington,” ujar Airlangga.
Selama ini, sektor padat karya menjadi penerima manfaat utama GSP. Pabrik-pabrik di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten menggantungkan ekspor ke pasar AS. Jika bea masuk dinaikkan, pesanan bisa menurun dan berdampak langsung pada pekerja dan rumah tangga mereka.
Bagi konsumen, dampak tidak langsung bisa muncul dalam bentuk kenaikan harga produk rumah tangga atau potensi melimpahnya barang dari ekspor ke pasar lokal. Diketahui, negosiasi sempat tertahan karena fokus internal pemerintah AS pada pembahasan anggaran negara.
“Jadi tidak, kita tunggu saja bagaimana pemerintah Amerika merespons dan hari ini mereka sedang sibuk urusan budget, big budget. Jadi itu sampai tanggal 4. Jadi mungkin sesudah itu baru masalah tarif ini bisa terbahas lagi,” ungkapnya.
Airlangga menegaskan, pemerintah akan terus mengedepankan jalur diplomasi dalam menghadapi negosiasi dagang dengan AS. Namun, jika GSP tak diperpanjang, Indonesia siap mencari alternatif.
Sebagai catatan, skema GSP sebelumnya pernah dihentikan oleh AS pada 2020 dan baru dipulihkan kembali secara terbatas. Kini, Indonesia berharap penguatan hubungan strategis bisa menjaga keberlanjutan fasilitas tersebut.