Selasa 17 Dec 2024 22:55 WIB

Legislator Minta PPN Sekolah Internasional Dikaji Lebih Mendalam

Kebijakan perpajakan di sektor pendidikan diharapkan tak merembet ke sekolah lain.

Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menilai kebijakan pengenaan PPN sebesar 12 persen terhadap sekolah bertaraf internasional perlu dikaji secara mendalam.
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menilai kebijakan pengenaan PPN sebesar 12 persen terhadap sekolah bertaraf internasional perlu dikaji secara mendalam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menilai kebijakan pengenaan PPN sebesar 12 persen terhadap sekolah bertaraf internasional perlu dikaji secara mendalam. Ini menurutnya dilakukan agar tetap menjunjung prinsip berkeadilan.

"Menjadi bagian penting bagi kita untuk terus melihat dan menggali lebih dalam," kata Ledia saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (17/12/2024).

Baca Juga

Ia mengatakan meskipun sekolah internasional pada umumnya diperuntukkan bagi kalangan mampu, besaran pajak tersebut tetap memberatkan. “Kalau kita lihat sekolah internasional, memang yang masuk ke sana pasti adalah orang-orang yang mampu dan ketika ditetapkan pajaknya 12 persen, kita sebenarnya keberatan juga ya dengan PPN ini dinaikkan. Itu kan kebutuhan untuk pendidikan. Kalau pun ada pajak yang harus dibayarkan, harusnya tidak sebesar itu,” ujar Ledia.

Dia menyampaikan pada prinsipnya pendidikan seharusnya bersifat nirlaba, yakni tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, tetapi untuk mendukung isu atau mengatasi masalah di tengah masyarakat. "Tapi, memang di kita, ini tidak konsisten, ketika bicara soal pendidikan itu nirlaba, di bawah yayasan, memang tidak ada pajak yang dibayarkan, padahal ternyata penyelenggaraannya sesungguhnya komersial," ucapnya menambahkan.

Ledia juga menyoroti ketentuan dalam penjelasan dari Pasal 65 Undang-Undang Cipta Kerja yang menyatakan bahwa sekolah merupakan lembaga yang bersifat nirlaba. Dengan demikian, kewajiban memenuhi perizinan berusaha tidak berlaku pada sektor pendidikan. Akan tetapi, terdapat pengecualian untuk sekolah yang didirikan di daerah ekonomi khusus, karena dikategorikan sebagai lembaga komersial dan dikenai pajak.

Sejalan dengan hal itu, Ledia menilai regulasi yang lebih rinci diperlukan untuk menentukan sekolah internasional termasuk atau tidak termasuk dalam kategori tersebut. “Jadi, memang itu yang nanti juga harus dilihat detailnya, dicermati, apakah sekolah internasional termasuk dalam kategori tersebut,” katanya.

Ledia mengingatkan pemerintah agar kebijakan perpajakan di sektor pendidikan tidak merembet ke sekolah-sekolah lain, terutama sekolah swasta kecil dan sekolah menengah ke bawah yang justru memerlukan dukungan. 

“Jangan sampai merembet ke semua hal yang berkaitan dengan pendidikan. Itu yang tidak boleh. Harus ada pengaturan yang jelas terkait dengan sekolah internasional, sekolah swasta dan negeri agar kebijakan tersebut lebih tepat dan bermanfaat bagi semua,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini menjadi langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara yang bertujuan mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional. Kenaikan tarif PPN diperkirakan akan mempengaruhi sejumlah barang dan jasa, terutama yang masuk dalam kategori mewah atau premium, di antaranya adalah sekolah bertaraf internasional dengan biaya tinggi atau layanan pendidikan premium serupa.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement