Sabtu 11 Jan 2025 13:51 WIB

PPN 12 Persen, Kebijakan Publik di Indonesia: Antara Teori dan Implementasi

Implementasi kebijakan di Indonesia menghadapi empat tantangan utama.

Sejumlah orang melakukan aksi demonstrasi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024). Dalam aksinya mereka menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada 2025. Menurut mereka kenaikan PPN tersebut akan tetap memberatkan masyarakat karena berpengaruh terhadap kenaikan harga.
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah orang melakukan aksi demonstrasi di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (19/12/2024). Dalam aksinya mereka menolak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada 2025. Menurut mereka kenaikan PPN tersebut akan tetap memberatkan masyarakat karena berpengaruh terhadap kenaikan harga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Dewan Pakar ICMI Pusat Prof Dr Didin Muhafidin memberikan gambaran komprehensif mengenai kebijakan publik di Indonesia, khususnya terkait implementasi dan dampaknya. Analisis ini disampaikan Prof Didin merespons langkah pemerintah yang sempat berencana mengeluarkan kebijakan PPN 12 persen hingga menuai pro dan kontra.

Prof Didin mengatakan pada dasarnya ada empat jenis kebijakan utama yang ada di Indonesia. Mulai dari distribusi, redistribusi, regulasi, hingga deregulasi. Kebijakan distribusi berfokus pada pembagian sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, dengan tujuan mengurangi kesenjangan sosial. Prof Didin mencontohkan hasil tambang seperti batubara dan minyak, menekankan pentingnya kebijakan yang tidak memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.

Baca Juga

Kedua kebijakan redistribusi, melalui mekanisme pajak, pemerintah mengembalikan dana kepada masyarakat dalam bentuk stimulus. Contohnya adalah stimulus PLN untuk pelanggan 450-2200 VA. Namun, Prof Didin menyoroti bahwa implementasi stimulus ini seringkali kurang optimal.

"Terkait kebijakan PPN 12 persen, selain listrik ada 15 stimulus yang sifatnya redistribusi," ujar Prof Didin saat menjadi pembicara di "Webinar Nasional: PPN 12 Persen, dan Dampaknya Terhadap Ekonomi Nasional", yang digelar ICMI, pada Kamis (10/1/2025). 

Ketiga kebijakan regulasi. Kebijakan ini mengatur batasan antara yang diperbolehkan dan dilarang. Prof Didin mengkritik inkonsistensi dan perubahan regulasi yang terlalu sering terjadi di Indonesia. Keempat kebijakan deregulasi, kebijakan untuk menghilangkan aturan yang dianggap menghambat.

"Inti dari kebijakan publik adalah "to do or not to do," menentukan intervensi pemerintah yang diperlukan dan yang tidak. Sayangnya kecenderungan pemerintah untuk terlalu banyak ikut campur, bahkan dalam hal seperti harga cabai, yang justru kontraproduktif," katanya.

Dampak kebijakan dan implementasinya di Indonesia

Prof Didin menyoroti dampak kebijakan PPN 12 persen, menurutnya awalnya potensi kenaikan pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp 73 triliun jika kebijakan diterapkan secara luas, namun saat ini implementasi yang terbatas pada barang mewah hanya menghasilkan sekitar Rp 4 triliun. Pemerintah bahkan telah menyiapkan stimulus sebagai dampak yang tidak diharapkan (redistribusi), seperti diskon listrik dan air, serta pemutihan balik nama kendaraan.

Namun, implementasi kebijakan di Indonesia menghadapi empat tantangan utama. Pertama komunikasi, komunikasi yang lambat dan kurang efektif seringkali menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Contohnya, isu kenaikan PPN yang meskipun sebenarnya hanya satu persen bukan 12 persen, dan bahkan tidak jadi diterapkan, namun terlanjur menimbulkan kepanikan dan melonjaknya harga kebutuhan pokok seperti cabai hingga jengkol.

"Sekarang harga cabai sampai jengkol sudah terlanjur naik. Sekarang jengkol sama cabai jadi barang 'mewah'," sindir Prof Didin.

Kemudian tantangan sumber daya. Meskipun instrumen dan lembaga seperti Tim Pengendali Inflasi Daerah/Providen, Komisi Informasi, dan berbagai komisi lainnya telah dibentuk, fungsinya belum dimaksimalkan. Prof Didin mempertanyakan efektivitas lembaga-lembaga ini dalam menjalankan tugasnya secara proaktif.

Ketiga tantangan disposisi atau sikap aparatur. Sikap aparatur yang tidak disiplin dan bahkan melanggar aturan yang mereka buat sendiri menjadi masalah serius. Contohnya adalah kasus judi online dan pejabat bea cukai dengan kekayaan tidak wajar. "Mereka yang buat aturan mereka sendiri yang melanggar," ujar Prof Didin.

Terakhir struktur birokrasi. Struktur birokrasi yang berbelit dan tidak efektif menghambat implementasi kebijakan, khususnya di daerah. Meskipun tim penanggulangan inflasi telah ada di tingkat kabupaten/kota, efektivitasnya perlu ditingkatkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement