REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan rasa yakinnya bahwa nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS akan bergerak pada tren penguatan. Hal itu lantaran faktor-faktor fundamental ekonomi Indonesia yang dinilai kuat.
“Kami masih meyakini tren nilai tukar rupiah ke depan akan menguat. Kami yakini jika lihat fundamental, rupiah bisa lebih rendah dari Rp 16.000 per dolar AS,” kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Kompleks BI, Kamis (20/6/2024).
Menurut Perry ada berbagai faktor fundamental yang memengaruhi penguatan rupiah. Mulai dari tingkat inflasi Indonesia yang bergerak di angka 2,8 persen saat ini, relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain.
“Lalu, pertumbuhan ekonomi kita 5,1 persen juga relatif baik,” tuturnya.
Perry tidak memungkiri bahwa belakangan ini nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS memang tengah melemah. Tercatat sejak awal 2024 hingga 19 Juni 2024 mengalami pelemahan sebanyak 5,92 persen.
Ia mengakui memang dari bulan ke bulan atau hari ke hari, pemberitaan yang bermunculan adalah pergerakan rupiah yang terliat kian melemah. Tapi menurutnya, itu hanya berbicara tentang naik dan turun, tidak mengenai tren.
Dia mencontohkan pada dua bulan yang lalu, BI sudah menakar Fed Fund Rate (FFR) akan turun, tetapi BI menyebut potential risk tidak akan turun. Lantas pada waktu itu yang terjadi adalah ketegangan geopolitik sehingga itu mendasari. Jika tidak ada ketegangan geopolitik dan ketidakpastian FFR, mestinya tidak perlu menaikkan BI rate.
“Bahkan saya katakan bahwa ke depan ada ruang untuk penurunan BI rate. Inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi bagus, kredit bagus, semua bagus,” tuturnya.
Namun, karena ketidakpastian pasar keuangan global, sehingga pada April 2024, BI menaikkan BI rate 25 basis poin (bps) menjadi 6,25 persen. Termasuk juga dinaikkannya suku bunga SRBI. Kemudian yang terjadi adalah peningkatan imbal hasil.
“Dengan itu, rupiah menguat ke Rp 15.900. Ke depan kita meyakini masih begitu, meskipun pada bulan-bulan itu saham keluar, ada SBN April keluar, Mei masuk, tapi Juni keluar. Tapi secara keseluruhan policy kita menaikkan BI rate dua bulan yang lalu, SRBI dua bulan lalu bisa kembalikan nilai tukar rupiah yang pada waktu itu kena tekanan geopolitik bisa kembali ke arah fundamentalnya,” ujarnya.